Gerhana Lazuardi (#2)

234 12 0
                                    

(2/3)

Kamu takzim melayari denting-denting defensif itu. Memanah monster busuk bercula terungku yang getol menggerayangi. Panas meringis di poros pembaringan, juga di pedalamanmu. Tiadalah tandus peluhmu menandu tulang-tulang dan palar-palar yang terkucilkan siku nadi. Menit, jam, minggu, bulan, sampailah bosan kamu bergulat ladeni ruam-ruam violet tirus menjijikkan bunyinya. Animomu terlalu mengancang lompat dari sana—hingga ke pori-pori pun kamu menyumpahserapahkan debu yang tuli berselonjor.

Lalu, tibalah hari yang dengan hati-hati kamu songsong bagaikan menanak setangki berlian khalis di sentral lambung Merkurius itu. Kamu pergi. Kamu pulih. Selesai.

Kamu ... bebas.

Namun, setelahnya, sesepele itukah skema kelanamu? Seekspres itukah?

Oh, tidak, barangkali.

Entah kamu tahu atau tidak, sadar atau tidak, yakin atau tidak, pada gugus beriak yang mengangkangi zonasi paru-parumu, langit tiada jenuh menimangmu. Langit hebat, sabar, ya, meski terhadapmu kontra meneropong. Langit amatimu laksana bocah ingusan merengeki gulali yang anjlok ke lumpur karena takut pada kemunculan badut berkostum bayi semut—walau tak sebintil pun pucuk rinai menginformasikan denyut itu.

Kamu dijejalkan menu terapi yang kamu sendiri iri mengapa bukannya rangka lain yang mendulang. Kamu disemangati lidah suhu yang seketika bersahabat menyahut gejolakmu. Kamu dibopong pedal energi dengan liat, gurih, spontan, tanpa gerutu, seolah sarkofagus di sanubarimu kontinu menyuplai bara-bara hijau melegakan. Kamu terlelap di atas matras yang epidermisnya berlabuh matahari peneduh. Kamu berdansa di dalam mimpi berlatarkan kastel metalik berkubah santan dengan peri-peri tampan yang santun mengiming-imingimu katalis waktu. Kamu berenang berkawan batalion elang yang terbang di kiri-kananmu pada kolam yang airnya selantai di bawah beku. Kamu diberikan serial komik favoritmu yang tokoh utamanya lihai menyihir darah menjadi keripik balado dan demam menjadi pembalut wanita sekali pakai. Kamu mampu ceria kala menyesapi secangkir kopi sarat duka. Langit dan kamu ibarat topi dan kepala.

Langit kekar melankolis dalam kepura-puraannya tidak berpura-pura heroik menyembuhkanmu. Kamu yang tak pahami itu. Kamu justru lena. Plontos. Kamu ... pikun.

Bahkan, pada detik ini, senyummu merentang bersandingan pria yang menghibahkan jawaban praktis yang kamu cari itu, dengan cincin mencuri jari manismu.

Bukan, bukan pria pendiam itu yang bersamamu kini. Seseorang yang lain. 

PuspawarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang