Kencan Kencang

206 10 0
                                    

Kamu menemukannya karam dalam garam yang lantam mengancam lidah. Tentu bagimu terlalu sepat awalnya, getas, tegas, legam pula. Tetapi, toh lama-kelamaan kamu sudu, dengan sebelah tangan kaya mural, serupa menggandeng pasangan kencan dambaan—jangan-jangan. Memang, kamu mula-mula lalu malu-malu lantas lekas-lekas puja. Seiring lidahmu kini suang mengarang dan erang. Secangkir cukup untuk sekecup bahkan lebih. Alih-alih petitih, kagummu justru polos. Masih, terus, makin; papilamu jenaka dan ketus dan bisu. Sampai lindap atau genap jumlah jenak.

Matamu menjerang sen demi sen yang dapat bulan camkan sebelum kerincing kucing-kucing di bokong jendela kamarmu kurang ajar. Karena, oh, bila kamu tak sempat gila, persetan sekubit lipit antardenyut, alismu pasti kertak meleleh ditowel teror per-per. Sayang, nihil nian bintang di atas sekarang, pun pada tatakan ulinmu juga nakas atau tas. Kamu satu-dua kerjap riap, tak masalah. Baiklah. Memerciklah ujar mengular dari retinamu. Menguiklah pelangi merdu di loji janji dan panji kisut tadi. Otakmu merilis daya-daya puspawarna yang puspas; melesak bak peluru tuju kuldesak.

Keningmu ongkang-ongkang ke samping, belakang, kolong kuku, kadang maju, atau entah arah. Ibarat kembang gula rasa tinta padu cinta membuncit lalu lantak semena-mena. Daun telingamu bergaun udara tanpa renda dengan perada kunang dan kenang. Kencang pula hidungmu tendang bilik sungsang milik lengang. Jemarimu memiuh riuh pada lapik tik berkelir nirkeliru. Terbiasalah kamu. Namun, api leco itu sungguh butuh tubuh utuh. Kamulah sang pengarah yang perangah. Hingga putih jelma sulih. Hingga kursor jelma faktor. Hingga kosong jelma plong. Sebelum prolog.

[]

PuspawarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang