Pengembaraan Abu-Abu (#3)

201 15 4
                                    

(3/3)   


        Ajaibnya waktu yang melahirkan pertemuan, sekaligus menabirkan perpisahan. Tiada yang menyangka bila kita telah berpilin dalam cakap, canda, tawa, serta lara. Ratusan hari lamanya. Tiada kira. Bahkan, kita lupa akan bahtera tubuh ini, seolah tiada tersentuh bibir masa, yang sejatinya menggelayuti kita ke mana pun penjuru dipilih. Saking musnahnya bahara dan prahara di teraju jiwa, menjadikan raga ini ringkas, seringan kapas, diselimuti kehangatan dari seulas solidaritas.

        Melihat ke belakang, sejujurnya, "banyak" tiadalah mampu menjadi telangkai aksara akan tiada berbilangnya tetes keceriaan dari wajah-wajah tulus dan sukma-sukma bergairah yang menggebu menulisi baris kebersamaan. Tinta-tinta cintanya.

        Canda di meja kantin. Gelak tawa di pojok kelas. Ketakutan di muka gerbang. Tangis di pinggir tanah lapang. Spirit di lapangan olahraga. Detak nadi di hadapan papan tulis. Raut cemas di hadapan lembar soal. Waswas di hadapan majelis guru. Desir di dinding lorong. Kebosanan di lapangan upacara. Keusilan di parkiran. Antusiasme di ruang musik. Bergaya di taman bunga. Bersantai di rerumputan. Lagak serius di perpustakaan. Gelora di jambore pramuka. Rusuh di toilet. Kisruh di laboratorium. Teduh di bawah pepohonan. Energik di lantai anjungan. Merosot di kursi kelas. Menguap di masjid sekolah. Gembira di aula. Memelas di UKS. Dan daftar lainnya yang sekiranya luput dari ingatan. Namun, ingat. Tiada yang benar-benar lesap dari ingatan. Denyaran bayang di sisi terhalus dari selentingan memori itu akan tetap ada. Stempeli sebujur album. Ingatan-ingatan. Semuanya tersalin rapi di setiap senti lembarannya. Senantiasa teringat. Warna-warni hayat yang tiada tertafsir harga. Menjadi sebongkah anugerah. Yang membahagiakan. Yang mustahil dilupakan.

        Kini, kita telah berada di ujung persimpangan. Tiga tahun dengannya. Tiga tahun bersamanya. Melalui hari-hari paling indah. Menari di petilasan pelangi abadi habis rinai basahi. Hirupan napas adalah panji akan kelebatan-kelebatannya. Akan kilasan-kilasannya. Dan, sekarang, detik melelang, melekang. Bagai pedang seusai perang, kita pun telah usai berperang. Kikisi kebodohan. Linggisi keegoisan. Sisihkan penerimaan. Sematan putih abu-abu itu perlahan pudar. Namun, nyawanya, jiwanya, kekuatannya, keteguhannya, tiada pernah pudar. Tiada fana bak memoar. Terpatri bersama kiambang tiara bahasa. Tiada membalam, walau digerus hitam kelam. Menjadi senoktah lentera di kedalaman atma. Tiada padam, terus bersinar, walau direkam jejak dan isak. Lalu, riaknya, pelan-pelan, mengalah. Lontarkan kewajiban besar di punggung kita. Dan, saat ini, tergantung pilihan kitalah yang akan mengikrar. Terserah pilihan langkah akan mengarah. Terserah cita akan menggantang tapal benua nun di kejauhan. Tetapi, yakinlah. Dirinya tiada pernah menyudah. Laluilah tanpa desah. Ikhlaskanlah tanpa kesah. Dan berpisahlah.

        Kebersamaan itu memang akan hilang, namun tidak dengan kenangannya. Cakap, canda, tawa, dan lara itu memang akan hilang, namun tidak dengan kenangannya. Hari-hari itu memang akan hilang, namun tidak dengan kenangannya. Biarlah semuanya terbungkus apik dalam kenangan-kenangan, bisa dibuka kapan saja, untuk kemudian mengarung senyuman tiap kali melakukannya. Biarlah semuanya berhenti bagai lajur nada menuangkan irama, bisa didengar kapan saja, untuk kemudian melarung ketenteraman tiap kali melagukannya. Biarlah geliat romantika itu menutup manis babaknya. Dan, biarlah cinta yang 'kan basuhi pipa hati, membekas. Biarkanlah lepas, dan waktu takkan merampas.

        Putih dan abu berlalu. Kita telah berlalu, kembali ke masing-masing. Namun, genggaman kita tiada mungkin menyingsing. Sejauh apa pun semesta menghamparkan jarak pemutus, ikatan ini tiada mungkin merenggang. Kelak, dan sampai kapan pun, persahabatan ini senantiasa benderang. Gemanya abadi dan kumandang. Tetap berpegang, meski suatu hari nanti titian hidup ini beringsang memanggang. Biarkanlah kita luluh dalam panggang. Biarkanlah jadi arang. Namun, percayalah, masih tersisa kasih sayang. Bernaung merelung, kendatipun dalam abu. Abu cumbu. Abu kalbu. Abu abu-abu. 

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[]

PuspawarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang