28- Enought

18.8K 498 7
                                    

Vanya membuka pintu apartemen miliknya , menatap tersenyum pada sosok pria yang ditunggunya sudah lebih dari satu jam lamanya akhirnya muncul juga.

Pria itu tak bicara hanya memandangnya dingin dan masuk tanpa sekalipun repot-repot membalas senyuman perempuan cantik ini. Vanya yang melihat sikap nya, tersenyum wajar—menutup pintu dan mulai menyusul sang pria masuk kedalam ruang Tv.

Pria itu duduk disofa dengan kaki terangkat, menyandarkan tubuhnya disana dan mengeluarkan ponsel dalam kantung jaketnya. "Jadi, mau bicara apa?"

Vanya yang sejenak terpaku memperhatikan gaya pria itu yang entah kenapa makin membuatnya terkesima, jatuh berdeham gugup. "Itu..." Perempuan ini membeo. "...mau aku buatin minuman dulu gak yo? Kopi?"

"Gue gak mau lama-lama disini. Cepet ngomong,"

Vanya tersenyum kecut. Mengambil tempat duduk bersebrangan dengan pria itu. Ekspresi nya terlihat sebal , tapi dia lebih memilih menurut. Sejenak perempuan itu memperhatikan nya, membuat kepala pria itu terangkat dari posisinya yang tadi menunduk memandang ponsel.

Mengangkat satu alisnya heran, menyadari keterdiaman Vanya yang tidak seperti biasanya.

"Apa kamu masih cinta padaku Al?"

Prolog yang menjurus kepernyataan membuat pria itu sedikit berdecak. Kenapa harus ini lagi yang dibahas?

"Aku butuh kepastian Al. Aku ini cewek, bukan nya cenayang." Sebenarnya Vanya berniat bercanda , tapi sungguh—itu sangat tidak lucu.

"Cinta gue sama lo udah gak ada. Hilang gak berbekas. Dibawa pergi sama lo pas itu, lupa?"

"Aku minta maaf Al."

"Telat. Udah lebih dari tiga tahun Van, dan lo baru minta maaf sekarang? Dari dulu pas gue jatuh , bahkan buat makan pun gak minat, lo kemana aja? Dihubungin pun susah. Lo hilang bagai di telan bumi. Gak meninggalkan sedikit pun clue dan hanya kata 'kita putus' lewat pesan ponsel yang lo kirimin waktu itu ke gue. Dan pergi gitu aja setelahnya. Apa gak keterlaluan itu namanya?"

Rasanya Vanya ingin sekali menangis, berlari memeluk pria itu dengan semua kerinduan yang amat menggebu-gebu dalam dirinya. Sungguh, ini bukan keinginan Vanya yang sesungguhnya.

Ia mecintai pria itu setulus hatinya, hanya saja dia bingung harus melakukan bagaimana. Di satu sisi, dia tak ingin membebani pria yang ia cintai ini untuk mengatur segalanya—ikut menderita bersama dirinya, di sisi lain dia harus memperhatikan orang lain yang jelas-jelas lebih membutuhkan nya.

Terpikir untuk membuat pria ini—Algio agar benci padanya dan dirinya bisa tenang untuk tidak lagi memberikan harapan manis namun palsu pada Gio. Tetapi, dia tak menyangka. Di benci oleh orang yang amat dia kasihi ini ternyata semenyakitkan ini.

Bahkan rasanya yang dulu dia suka seenaknya memeluk Gio dimana pun saja bagai candu dan pria itu tak pernah berkomentar bahkan membalasnya dengan sayang. Kini harus meminta ijin terlebih dahulu kalau tidak mau terkena damprat dan pelototan.

Senyuman manis dan menggoda Gio yang biasanya muncul bila ada dihadapan nya, kini menjadi senyuman enggan, dan pandangan dingin, sarat dengan kebencian yang Vanya tanamkan sendiri.

Vanya sakit. Hatinya sakit. Bahkan obat pun tak bisa menyembuhkan, seperti bagaimana hidupnya selama tiga tahun ini. Itulah yang Vanya rasakan saat prediksi itu keluar.

Dia sakit. Dia hancur.

"Maaf." Hanya kata itu yang dapat keluar dari mulut kecil Vanya membuka. Dia berusaha keras untuk tidak lemah dan menangis dihadapan Gio. Dia tidak mau dikasihani oleh Gio nantinya, walau dia pun tidak tau apa yang akan Gio lakukan saat dia menangis.

When there [is] Hope (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang