35- Outburst

15.4K 409 2
                                    

Anggi menutup laptopnya saat ketika panggilan skype yang diterima dari singapure telah terputus. Manik coklatnya mendapati sosok pria yang tanpa sengaja melintas didepan pintu kamar nya yang terbuka.

Sedikit lipatan di dahi menyambut Anggi untuk segera beranjak dari tempat tidur. Lipatan di dahinya makin dalam begitu melihat apa yang dilakukan pria itu di pertengahan anak tangga ke bawah.

"Kak—"

Gio mendongak, menatap tubuh mungil adiknya turun dari tangga menghampiri. Sekarang tengah pukul 5 sore, dan adiknya itu masih memakai atasan kemeja dan jeans—pakaian yang dikenakan nya tadi siang ke kampus, sedari dua jam yang lalu apa yang dilakukan si curly ini dikamar?

"Mau kemana? Kok bawa koper segala?" Anggi bertanya sedikit heran saat mereka sudah menampaki lantai bawah, tempat dimana pintu keluar ada dibalik tembok ruang tamu dan ruang makan.

"Apartemen. Udah selesei di renov. Jadi bisa ditinggali sekarang." Gio tidak mau mendetailkan lebih lanjut atas kegiatannya sore ini, dia sudah cukup lelah bekerja dikantor karena perusahaan yang sedang dikelola nya tengah membangun proyek baru, itu sangat menyita tenaga dan pikiran.

Setidaknya Gio bisa lebih tenang bila tinggal diapartemen nya, selain tempat kerja terbilang dekat, semua proposal dan berkas-berkas yang dibutuhkan nya ada di ruang kerja—disalah satu bagian dalam ruang apartemen yang ditempati nya itu.

"Enak nya tinggal di apartemen..." Anggi mencibir. Untuk sekarang Gio tidak niat sama sekali adu bacot dengan adiknya. "Gue boleh gak tinggal di apartemen juga?"

"Terus ninggalin rumah gedong ini beserta isinya sendirian? Enggak." Sahut Gio sangat tidak setuju.

"Lo ngomong kayak gue mau ninggalin anak orang aja di rumah ini sendirian," Anggi mencebik sebal. "Lo sendiri gimana? Ninggalin gue di sini sendirian, enggak kasian sama gue?"

"Lo kan udah biasa sendirian Nggi. Lagian ada si mbok juga."

"Hih! Berasa jones banget deh gue! Si mbok mah gak perlu diitung kali, dasar nyebelin!"

"Gue udah dari lahir nyebelin." Gio nyengir, dan memutuskan kabur begitu tatapan membunuh Anggi ingin melubangi jidatnya.

"Kak—lo bilang Kak Vanya pergi ke Thailand kan?"

Kaki Gio yang semula hendak melintasi ruangan, kini berdiri tegak–memantung refleks mendengar nama mantan nya itu disebut-sebut.

Anggi mengernyit. "Gue sih bukan nya gak yakin sama pendengaran lo yang kayaknya kudu diperiksa ke THT terdekat, Keyla sendiri yang liat kalo Kak Vanya ada di singapure setengah minggu lalu—"

"Singapure?!" Gio kaget. Vanya ke singapure dan bilang padanya ke Thailand? Apa maksudnya itu??

Mendadak Anggi menggigit lidahnya, menggaruk-garuk tengkuk lehernya kikuk. Melihat tampang marah kakaknya, tidak ada kemungkinan lain kalau Gio sekarang tengah menahan letupan emosi akibat kebohongan Vanya kepadanya.

"Well..." Anggi berdeham. "Gue pikir lo udah—"

"Keyla liat dimana?"

Anggi sedikit bingung ketika ucapannya malah di potong. "Rumah sakit."

"Dia sakit apa?" Pertanyaan selanjutnya yang dilontarkan Gio membuat kening Anggi mendadak mengkerut. Maksudnya 'dia' yang dia maksud itu, Keyla atau Vanya? Mengingat kakaknya ini belum sama sekali tau penyakit yang diderita Keyla. Pada akhirnya, Anggi mengutuk dirinya sendiri karena sudah keceplosan.

Sekarang dia sudah ketangkap basah, tidak ada cara lain lagi selain nyebur aja sekalian kedalamnya. "Lo inget gak, waktu gue jarang banget pulang kerumah?" Karena Anggi bukan pembohong atau pencerita yang baik, dia hanya bisa mengambil prolog aneh tersebut. Perempuan ini jadi kebingungan harus menjelaskan dari mana.

When there [is] Hope (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang