36- Thrēety Sïx

15.8K 391 0
                                    

"Jadi... Ternyata adek gue juga bisa nangis histeris ya?"

Anggi mencebik kesal, dia meninju lengan kakaknya—sebal. Tapi tidak berkomentar apa pun. Ucapan Gio tadi benar adanya, jadi mana bisa Anggi mengelak.

"Btw lo masih cinta sama Elang?"

"Lo pikir apa? Jangan mendadak jadi lugu deh, kalo gue gak cinta. Kenapa musti nangis kek tadi coba?"

Gio hanya terkekeh. Adiknya ini kembali menjadi Anggi menyebalkan, cerewet, tukang nyolot, resek, dan..apa lagi?

"Lo gak nangis juga Kak?" Anggi bertanya tiba-tiba, "seenggaknya, masalah gue gak sepelik elo. Liat aja, Kak Vanya tinggal disingapure sekarang tapi bilang sama lo dia pulang ke Thai, ini emang Kak Vanya yang enggak percaya sama elo apa emang tampang lo ini nyebelin minta di tabok jadi lebih Kak Vanya milih ngerjain elo dengan bilang bakal menetap di Thai?"

Gio mendecih. "Peduli amat."

Anggi mendengus. "Sekarang sih bilang gak peduli, kemaren-kemaren lo malah buat ulah."

"Itu mah gue yang emang lagi khilaf."

"Keren ya, khilaf ampe seminggu lebih tiga hari."

"Kerajinan amat lo ngitungin."

"Biar mainstream Kak." Anggi terkekeh. "Kali aja gue dapet undian berhadiah."

"Ha.ha.ha. Lucu.." Gio membuang wajah sebal, dan lebih memilih meraih kopernya yang sempat ia tinggali karena tadi dia harus menenangkan adiknya yang bersedih.

Kening Anggi mengernyit begitu Gio tidak berjalan keluar, melainkan ke tangga, menyeretnya naik.

"Kak Gio, sejak kapan pintu luar rumah pindah keatas?" Anggi bertanya ngaco. Gio hanya meliriknya sekilas tanpa sebenarnya niat menanggapi.

"Gue masih kangen kamar. Entaran aja ke apartemen nya, gampang." Setelah mengatakan itu, Gio pergi menuju kamarnya, meninggalkan Anggi yang memantung tak paham dengan alis berkerut dalam.

:::::::::::::::

Keyla's POV

Ayah dan Mama datang menjenguk ku lagi. Hari ini tepat dua bulan aku dirawat. Aku benar-benar seperti orang lumpuh. Sungguh, hanya mengangkat tubuhku saja, sulit sekali. Hidungku juga sudah makin sering menguarkan darah—tidak aku yang sedang diam saja atau beraktivitas.

Karena faktor itu lah, aku jadi harus kemo hampir dua kali sehari, bayangkan saja.

"Key.. Mau jalan-jalan?" Mama mendatangiku bertanya, perut yang mengandung itu sudah semakin besar, wajar tujuh bulan.

"Enggak. Keyla disini aja." Mendengar suaraku yang lemah ini, aku jadi meringis miris. Betapa hidupku menyedihkan begini.

"Kalau kamu mau jalan-jalan, bilang sama mama. Entar mama yang neminin."

Aku mengiyakan saja. Sebenarnya penawaran mama sangat menarik, tapi maaf saja...untuk kali ini aku lebih tertarik dengan seseorang yang tengah menjalani misi yang kuajukan dua jam yang lalu.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 6 malam. Ini sudah larut. Sebentar lagi...

Decitan engsel terbuka membuat ku sedikit tersenyum. Perawat Emi muncul, dengan senyuman ramah yang tak pernah hilang dari bibirnya. "Selamat malam, sir.. miss..."

Ayah dan Mamaku menjawab sapaan nya—seadanya dengan senyuman tak kalah ramah. Senyumanku melebar begitu perawat Emi menatapku dengan anggukan samar yang entah kenapa membuatku senang.

Dia mendekat.

"Gimana?" Bisikku tak sabar.

"Datanya sudah kudapat, lengkap dengan salinannya."

"Bagus!" Aku mendadak riang. "Antarkan aku ke ruangan nya sekarang."

Perawat Emi sedikit kaget mendengar permintaan ku. "Apa?"

"Antarkan aku ke ruangannya. Dia di rawat di sini kan? Kalau kamu dapat datanya, kamu juga pasti dapat nomor kamarnya juga kan?" Aku menerima papan plastik yang dibawanya dan mulai membaca dengan semangat.

Perlu kuberitahu apa yang tengah kubaca sekarang? Baik. Ini adalah data pasien bernama Vanyalera Kartika Sari. Seharusnya data ini sangat rahasia, tapi karena aku ini cerdas dan mampu bertindak picik bila aku mau, aku bisa menghalalkan beberapa usaha untuk mendapatkan nya. Lihat dengan ini, aku mendapatkan semua datanya, ditanganku.

"Yeah..." Perawat Emi bersuara sedikit ragu dengan apa yang ingin disampaikan nya. "Aku ragu kalau nona Vanya mau menerima tamu."

"Kenapa memang nya?" Aku sedikit heran.

Perawat ini menatap keatas dengan alis berkerut, berpikir. "Dia itu sedikit trouble maker. Aku sangsi, nona Keyla akan disambut baik olehnya."

Iya. Vanya ini memang trouble maker sejati. Aku menyetujuinya dalam hati.

"Gak ada salahnya di coba," aku bergumam.

::::::::::::::::::

Sepertinya memang benar ucapan perawat Emi sebelumnya. Vanya cukup sulit untuk dijamah. Perempuan itu seperti hantu, tidak ada siapapun yang melihatnya begitu aku masuk ke kamar rawatnya ternyata dirinya tak ada.

Aku sudah bertanya pada orang-orang, tapi mereka sama sekali tak melihat si sintal perfect perempuan itu. Kemana dia pergi?

"Dia masih dirawat disini." Perawat Emi mendekatiku dengan jawaban yang sedari tadi kutunggu-tunggu. "Tidak ada kabar kalau nona Vanya chek out atau dipindahkan. Dia masih terdaftar sebagai pasien disini."

Aku sedikit mengernyit mendengarnya. Jika dia masih seorang pasien, kenapa dia tidak terlihat sekarang?

"Nona, sebaiknya kita kembali saja. Ini sudah pukul 10. Waktu anda tidur."

Aku tak menjawab. Masih memikirkan rencana apa yang akan kuperbuat besok. Setidaknya, aku harus tau lebih detail kenapa dia bisa dirawat sedemikian lama? Aku tadi membacanya, bahwa Vanya ternyata sudah lebih dulu dirawat disini sebelum aku.

Satu-satunya yang logis disini adalah...apa penyakit yang dideritanya?

"Maaf, tadi aku belum baca sampai habis data yang tadi kamu kasih. Disitu disebutkan nama penyakit yang diderita pasien tidak?"

Perawat Emi yang sedang mendorong kursi rodaku mengernyit. Dia diam berpikir. "Kalau tidak salah, dia memiliki penyakit liver."

"Liver?" Aku kaget, bertanya memastikan. Kupingku masih sehatkan ini?

Perawat Emi mengangguk, meyakinkan jawabannya. Seketika itu pula aku lemas dikursiku. Yeah..dia melenguh sakit perut waktu itu, tentu saja. Kenapa aku tidak paham apa pun sebelumnya? Sial!

Walau penyakit liver sebenarnya termasuk penyakit umum, tapi itu tetap saja berbahaya. Bagaimana mungkin seorang Vanya memiliki penyakit seperti itu?

Aku bergeming begitu kursi roda yang kududuki memasuki ruangan kamar rawatku. Perawat Emi membantuku naik keatas brankar. Sebelum Emi benar-benar pergi, aku sudah terbaring dengan mata masih terjaga.

Ingatkan aku nanti untuk menanyakan nya nanti dengan setumpuk pikiran ku ini. Vanya benar-benar sosok misterius yang mengejutkan, wah.

***
TBC















@ssianidha

When there [is] Hope (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang