30- Ego

18.2K 421 0
                                    

Edited; 1348 Word (21/12/2016)

***

Keyla's POV

"Singapura?" Aku membeo. Belum percaya dengan ucapan Ilham yang sebelumnya mengutarakan aku yang harus dipindah rawatan menuju negara itu. "Kenapa?"

Ilham menatapku datar , "karena perlengkapan di sini kurang lengkap. Harus kah gue bilang seberapa kayanya negara kelahiran lo ini?"

Aku memutuskan bungkam. Diam tak bicara. Aku sudah teramat kenyang selalu mendapat sorotan mata semenyebalkan itu dari dokter yang satu ini.

Entah karena kecerobohan ku , atau karena kisah cinta nya yang sedang berantakkan. Dia melampiaskan nya semua padaku. Memang nya aku ini apa? Manusia tidak punya hati? Huh,

Elang mengelusi puncak kepalaku. Menunjukkan senyuman geli nya. Iya , aku tau kalau dia mungkin sadar aku sedang jadi bahan kemarahan Ilham karena jalan cintanya sama Mona yang tak juga kunjung selesai.

Dokter itu saja yang terlalu obsesi dengan si pengacara berlidah pisau itu. Bingung deh, apa sih yang dilihat Ilham dari Mona? Bukan kah perempuan cantik di luar sana itu banyak ya?

Gak perlu jauh-jauh deh , di rumah sakit ini. Perawat bernama Amelia misalnya. Akhir-akhir ini aku sedang dekat dengan perawat bernama Amelia ngomong-ngomong.

Namanya kembaran sama Amelia kecil yang ada di panti. Kami semua bahkan tergelak saat Anggi yang sedang memanggil Amelia kecil malah yang menengok dua-duanya.

Mereka lucu.

"Apa Keyla harus menetap di sana juga?" Ayahku bertanya , melirikku khawatir. Jangan tanya Mamaku di mana , kesehatan nya sangat mengkhawatirkan. Dia selalu mendapat serangan pingsan mendadak saat ketika melihatku.

Jadi untuk jaga-jaga---agar adikku yang ada diperutnya juga tak terganggu kesehatan nya---Mama di larang menjengukku.

Saat ini kami , aku , Elang , Ayahku , Ilham , dan Bunda Lia ada di satu ruangan yang sama , di kamar rawatku.

Pintu ruangan terbuka , menampakkan sosok perawat yang ku ceritakan tadi. Amelia Sekar Hutabarat. Ah , aku baru ingat. Sekarang lah saatnya aku minum obat.

Amelia---Amel menunduk berjalan melewati Ayah dan Ilham dan juga Bunda Lia yang terlibat obrolan. Mengahampiriku dan Elang yang duduk bersisian ditepi ranjang rawat.

"Aku baru saja selesai makan." Kataku basa-basi kepadanya. Amel mendongak menatapku dengan senyuman manisnya.

"Bagus. Sekarang saatnya minum obat."

Aku manggut-manggut saja. Memperhatikan Amel yang sedang meracik obat.

"...dokter spesialis hematologi di sana lebih dari mampu daripada di sini , lewat lengkapnya perawatan aku yakin Keyla mampu juga bertahan cukup lama sambil menunggu pendonor nya.."

Aku mencuri perbincangan mereka yang letaknya cukup jauh karena posisi sofa ruangan ada disudut pintu masuk , sedang ranjang tempat ku tidur ada didekat jendela. Dibatasi dengan jarak cukup lebar ditangah-tengahnya.

Haruskah aku menangis mendengar seberapa malangnya aku? Tidak. Menangis itu tindakkan pengecut. Dan aku tidak pengecut. Aku lebih dari mampu dengan ketahanan tubuhku sendiri. Aku lah yang lebih tau seberapa kuat lagi aku hidup karena akulah yang menjalaninya sendiri.

Lebih tepatnya. Aku dan hanya Tuhan yang tau. Seberapa penyakit ini mengancam tubuhku. Bukan, bukan berarti aku bisa menentukan kematianku sendiri , pada dasarnya semua kembali pada Tuhan lagi.

When there [is] Hope (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang