HARI BARU TERANG, matahari yang baru terbit itu menyinari puncak "Hwe Ing" yang sangat curam dan diliputi oleh kabut. Seorang anak laki-laki yang berusia 8-9 tahun tampak mendekati puncak tersebut, sepasang tangannya yang bulat memandang terpesona pada kuil kuno yang terdapat di atas puncak gunung itu, ia menghela napas lega. Pada paras mukanya tampak rasa terkejut dan gembira.
Setelah berhenti sejenak, ia mulai mendaki tebing itu kembali. Kuil kuno itu tampak berdiri tegak di bawah sinar matahari sunyi senyap tak terdengar suara sedikitpun jua, se-akan2 tak terdapat seorangpun di dalam kuil itu, ia berhenti sejenak sambil memejamkan matanya, Kemudian menaiki tangga batu dan masuk ke dalam ruangan kuil dengan perlahan-lahan.
Di tengah-tengah ruangan kuil yang besar itu duduklah seorang tua yang rambutnya sudah putih semuanya dengan muka menghadap pada pintu masuk kuil.
Ketika melihat anak laki-laki itu memasuki ruangan kuil, ia memandang dengan sinar mata yang dingin, paras mukanya tak menunjukkan perasaan sedikitpun jua. Anak laki-laki itu mengangkat kepalanya dan dengan mata penuh air mata dipandangnya orang itu, kemudian berlututlah ia dengan perlahan-lahan.
Orang tua itu memandangnya dengan dingin sambil berkata: "Apakah engkau datang untuk belajar ilmu silat?"
Tiap-tiap kata yang diucapkannya itu sangat jelas dan suaranya menggema di dalam ruangan kuil itu sehingga suasana di tempat itu diliputi oleh napsu pembunuhan.
Anak laki-laki itu menundukkan kepalanya dengar tidak mengeluarkan sepatah katapun juga, dengan diam-diam ia telah mengakuinya.
Orang tua itu tertawa dengan suara yang tak wajar, dia berkata, "Apakah kedua orang tuamu telah dibunuh orang dan engkau akan belajar ilmu silat untuk menuntut balas?" setelah berkata ia mendengus.
Anak laki-laki itu mengangkat kepalanya dan dengan bercucuran air mata, berkatalah ia, "Boanpwe Boen ching mohon sudilah locianpwe melepas budi untuk menerima boanpwe sebagai murid."
Orang tua itu memandang anak laki-laki yang bernama Boen ching, mukanya yang halus mungil itu telah penuh dengan air mata, kemudian mendengus dengan dingin dan berkata. "Apakah engkau tidak mengetahui sifat-sifatku? Kalau engkau tidak segera pergi, akan kubunuh di bawah telapak tanganku.."
Anak laki2 itu tertawa sedih, suaranya terdengar lirih:
"Boanpwe sudah tahu semuanya. Tetapi kalau loelanpwe tak mau menerima boanpwe sebagai murid boanpwe juga akan mengalami kematian, lebih baik mati di bawah telapak loelanpwe masih lebih berharga", ia berkata dengan mantap dan air mata membasahi pipinya.Orang tua itu mendengus, "Mengapa engkau hanya mempunyai jalan kematian? Siapa yang membunuh kedua orang tuamu?"
Boen ching mengangkat kepalanya, "Pat Huang Sin Mo!"
Orang tua itu tersenyum mengejek, di matanya Pat Huang Sin Mo bukan merupakan apa-apa, tetapi pada waktu itu yang dapat mengalahkan Pat Huang Sin Mo cie Uh Chan ada berapa orang? Kiranya hanya dia seorang.
Berpikir sampai di sini tanpa terasa terlintaslah di wajahnya senyum penuh kebanggaan.
Dia memandang Boen ching sejenak dan pikirnya dalam hati. "Meskipun anak ini sangat menyenangkan tetapi aku telah membuat peraturan yang tak dapat ku langgar sendiri, aku harus membunuh mati dia."
Boen ching memandang orang tua itu dalam hati kecilnya ia sudah dapat menerka apa yang akan dikerjakan oleh orang tua itu. ia mengangkat badannya perlahan-lahan dan berdiri mematung di sana dengan tidak merasa gentar sedikitpun.
Orang tua itu mengerutkan alisnya, anak di depan matanya itu ternyata dapat menebak apa yang dipikirkan olehnya. Hal ini membuat sangat terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bentroknya Rimba Persilatan - Khu Lung
General FictionNiatnya untuk berguru pada Thian Jan Su seorang tokoh sakti aneh dan tiada tandingannya mendadak sirna karena Thian Jan Shu meninggal akibat terkena pusaka Thian Liong Suo (Bor Naga Langit) ketika bertarung dengan Thian San Chiet Kiam (7 Jago Pedang...