"Kamu tak pernah tau seberapa pedihnya melihatmu bahagia dengan pilihanmu."
----------
"Masih jauh banget ya Pak Mamad?"
"Kalau neng Hana lari sekarang mungkin bisa sampai, walau kesempatannya sedik-"
Blam
Hana berlari secepat mungkin.
Menanggalkan setitik air mata yang kini telah terjun ke pipinya.
Mengacuhkan sapaan hangat sang mentari.
Membiarkan hawa sejuk pagi hari yang kini tengah menyelimutinya.
Tak memperdulikan silauan sinar matahari yang mulai membentur wajahnya.
Dan meninggalkan sepoi-sepoi angin yang sedemikian kalinya menabrak lembut tubuhnya, membiarkan anak rambutnya bernari-nari pelan terbawa arus angin.
Pintu gerbang sudah mulai terlihat dari kejauhan, membuat Hana semakin bersemangat untuk tetap mengayuhkan kakinya yang terbalut sepatu bertali dengan cepat.
Sampai menimbulkan irama bagaikan alunan detakan jantung yang berdebar-debar.
"Satu menit lagi ditutup astaga!"
Tetapi sepertinya Hana harus kembali menangis sekarang, waktu satu menit tak lagi berarti, karena jika dia berlari sekarang pun tak akan bisa.
Siswa beralmamater merah maroon tersebut sudah akan menutup gerbang sekolahnya.
Hana menghela napas, akhirnya ia lebih memilih untuk pasrah dengan berjalan seperti biasanya.
Dan di sinilah Hana sekarang, menunggu di depan gerbang bersama siswa-siswi yang bernasib sama dengannya, sambil menunggu salah satu anak OSIS memasukkan dan membariskan mereka di tempat khusus murid yang terlambat.
Hana yang baru pertama kali terlambat pun hanya bisa terdiam, rasanya ingin sekali ia kembali menangis lagi.
Anggap dirinya cengeng, tetapi ini adalah first moment dan first timenya selama ia bersekolah.
Mulai dari SD sampai sekarang dirinya duduk di kelas 12, baru kali ini ia terlambat.
Ini semua gara-gara kakak cowoknya, Gilang Ramdan Adriano namanya, yang usil memundurkan waktu di jam weker kamarnya.
Hana yang bangun dengan berpatokan jam weker di kamarnya pun, tak sadar jika waktunya lebih lambat 30 menit dari waktu sebenarnya.
Gilang dan Hana sama-sama duduk di bangku kelas 12,
Walau umur mereka terpaut satu tahun, karena kepintaran Hana lah yang mengikuti akselerasi sewaktu dirinya masih SMP.
"Lima menit lagi masukkin mereka semua."
Deg...deg...deg
Hana membeku di tempatnya, debaran jantung yang semakin menjadi-jadi membuatnya seketika terdiam,
Menatap dalam kesembunyian yang semu seseorang yang kini menjadi objek nyatanya.
Nyata namun semu, bagaikan fatamorgana yang terlihat nyata, tapi ternyata tidak.
Berada diambang-ambang warna putih juga hitam, yang selalu tersirat seperti warna abu-abu.
Ya,
Dialah Farhan.
Dia senang,
Hana senang.
Senang karena terlambat, sebab dari keterlambatannya tersebut dirinya bisa puas melihat pujaan hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Heart Speaks
Teen Fiction"Mungkin aku salah satu dari ribuan orang di bumi ini yang hanya bisa menikmati senyumannya tanpa harus tahu siapa gerangan yang membuatnya tersenyum, sangat mengenalnya tanpa harus dikenal olehnya, dan mencintainya tanpa harus mengharapkan sebuah b...