Memeluk rindu
Si pemilik surat yang pernah bertemu
Lalu kembali untuk berpulang–––––
Terik pagi sepertinya enggan menyapa hari ini.
Terbukti ketika rintikan hujan yang terlihat dari balik tirai lagi-lagi turun membasahi bumi.
"Hana?"
Si pemilik nama menoleh, tak lama kemudian tersenyum sendu kala melihat Alfian hendak berjalan mendekat ke arahnya.
"Udah siap?" tanya Alfian sembari mengelus pelan rambut Hana.
"Udah."
Alfian lagi-lagi tersenyum. Lalu bersimpuh di depan Hana. "Ada yang lagi ganggu pikiran kamu, ya?"
Hana terpaku sejenak. Kakaknya tahu dari mana?
Namun hanya gelengan kepala yang diterima oleh Alfian.
"Ya udah kalau gitu, kita berangkat sekarang ya?"
"Iya." jawabnya pelan. "Tapi Ka Al..."
"Ya?"
"Kakak... mau antar dulu aku sebentar gak?"
Alfian menatap bingung Hana. "Boleh," jawabnya. "Ke mana?"
***
"Hai Ka Gibran, Hana datang nih."
Di bawah teduhnya payung, di tempat peristirahatan terakhir Gibran, Hana akhirnya kembali datang untuk berkunjung.
"Hana kangen banget," ujarnya seraya mengusap pelan nisan yang kini sedikit lembab akibat terkena rintikan air hujan.
"Ka Gibran kangen Hana gak?"
Ada sebilah pisau yang rasanya kini tertancap di relung hatinya. Begitu menyesakkan sampai akhirnya membuat kedua bola mata itu kembali terasa menghangat dan basah.
"Ka Gib... suratnya masih suka Hana baca loh disetiap Hana ngerasa rindu sama Ka Gib. Tapi karena rindunya datang tiap hari, jadi... suratnya dibaca tiap hari juga."
Ada setetes air mata yang kini lolos dari matanya. "Tapi... kayaknya rindunya bukan datang tiap hari deh, tapi... tiap waktu," lirihnya. Ada jeda cukup panjang. Rasanya tak cukup kuat untuk berbicara lagi dikala hatinya bergemuruh hebat.
"Terima kasih Ka Gib... udah pernah hadir dalam hidup Hana. Hana—" jantungnya berdetak kencang. Air matanya bahkan sudah menetes dengan derasnya. Rasanya hatinya begitu hancur.
Mendung di hatinya tak pernah mereda. Bergemuruh hebat di setiap waktunya. Mengingatkannya pada rindu yang tak pernah kunjung berhenti.
"Hana akan tetap sayang sama Ka Gibran. Seperti Ka Gibran yang menyayangi Hana hingga detik terakhir."
***
"Farhan?"
Bibirnya yang terasa sangat keringpun mulai bergerak kecil.
"Farhan, kamu kenapa Nak? Ngigau?"
Goyangan pelan dipundaknya menyadarkannya dari mimpi.
"Ini jam berapa Mah?!" pekikan kaget itu terdengar menuntut jawaban. Namun sedetik kemudian ia merasakan sakit di kepalanya.
"Eh, kamu kenapa? Pusing ya?"
Farhan menggeleng. Lalu matanya menemukan jam dinding yang terpasang di kamarnya. Dengan cepat ia berdiri bangkit dari kasurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Heart Speaks
Teen Fiction"Mungkin aku salah satu dari ribuan orang di bumi ini yang hanya bisa menikmati senyumannya tanpa harus tahu siapa gerangan yang membuatnya tersenyum, sangat mengenalnya tanpa harus dikenal olehnya, dan mencintainya tanpa harus mengharapkan sebuah b...