"Hai Nak! Kamu dari mana aj–Hei! Ada apa dengan wajahmu?"
Farhan sedikit tersentak. "Gak Mah."
"Gak apa? Kenapa wajah kamu? Kamu habis—nangis?"
Farhan kembali menggeleng. Lalu dengan lesu menaiki tangga menuju kamarnya.
"Nak? Are you okay?" tanya Lena pelan.
Dengan perlahan ia membaringkan tubuhnya, lalu perlahan kembali menggeleng.
Lena mendekat dan meraih tubuh Farhan yang terbungkus oleh selimut. "Kamu kenapa? Ada apa?"
Tak ada sahutan. Ia hanya kembali menggelengkan kepalanya.
"Lagi ada masalah?" tanya Lena sembari mengelus pelan rambut putra sulungnya tersebut.
Farhan kembali memejamkan matanya, lantas tanpa ia sadari air matanya kembali jatuh.
Lena yang melihat hal tersebut membulatkan matanya. "Kamu kenapa? Ada yang sakit? Kenapa? Lengan kamu masih sakit? Atau ada sakit yang lain? Kita ke rumah sakit sekarang ya?"
"Enggak, Mah," lirih Farhan.
"Terus kenapa kamu nangis?" tanya Lena yang sangat khawatir dengan keadaan Farhan. Sudah beberapa hari ini anaknya terlihat sangat lesu. Wajahnya terlihat tak segar. Kantung mata membesar. Dan baru kali ini, air mata menyertai di pipinya.
"Farhan cuma lagi mau istirahat aja."
Lena mengalah, lantas mengecup puncak kepala Farhan dan berlalu dari kamarnya. "Kalau butuh apa-apa panggil mamah ya, Nak? Mamah mau lanjut masak dulu."
Tak lama kemudian ia menegakkan tubuhnya, lalu menghirup udara sebanyak mungkin. Matanya kembali terpejam. Pedih di hatinya tak kunjung mereda.
"Kamu belum nemu aja perempuan yang bisa bikin kamu nangis."
Kata-kata lawas itu kembali terngiang di ingatannya.
Film yang bahkan judulnya saja ia sudah lupa—tanpa ia sadari kembali menayangkan kutipan yang dahulu pernah ia tonton dan ia remehkan saat itu juga.
Ia ingat, waktu itu ia menontonnya bersama ketiga sahabatnya; Bagas, Vano, dan Ferro.
Saat itu mereka sedang berkumpul bersama seperti biasa di rumahnya. Lalu dengan usilnya Bagas mengarahkan channel televisi di kamarnya pada tontonan yang bahkan dari mereka tak ada yang tahu—kecuali Bagas yang sok tahu.
Flashback On
"Lo mau nonton apaan dah?" tanya Ferro.
"Tau dah, kok tontonan lo jadi yang berbau bucin sih?" sewot Vano.
"Banyak bacot kalian ini! Udah deh, tonton aja. Jarang-jarang kan kita nontonin genre yang kayak gini?"
"Lah, emang biasanya lo nonton apa? Nonton yang ada adegan birunya ya?" ejek Ferro.
"Itu mah tontonan lo kali!" sergah Bagas.
"Eh! Itu mah tontonan Vano, anjir!" tawa Ferro meledak, disusul Bagas.
"Eh apaan! Gue gak nonton gituan! Mata gue masih suci dari hadas besar dan kecil!" ujar Vano.
Ferro menoyor kepala Vano. "Garing! Penipu kau!"
"Eh si Farhan noh diam-diam nontonin adegan 18 plus. Eh enggak ding, 21 plus!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Heart Speaks
Teen Fiction"Mungkin aku salah satu dari ribuan orang di bumi ini yang hanya bisa menikmati senyumannya tanpa harus tahu siapa gerangan yang membuatnya tersenyum, sangat mengenalnya tanpa harus dikenal olehnya, dan mencintainya tanpa harus mengharapkan sebuah b...