Hari kemarin senja
Lalu sang mentari pulang
Namun sejenak menyapa fajar
Mengatakan bahwasannya
Hari esok pasti akan lebih indah
Untuk menutupi luka
Di hari ini
------------
"Hana?"
"Aku mau pulang."
"Tapi kamu belum pulih—"
"Bertemu mamahku..."
Gilang terdiam sejenak, perasaannya tak enak menatap Hana yang kini tengah memandang langit dari jendela rumah sakit dengan tatapan kosong.
"Dan Ka Alfian."
Deg!
Tatapan itu menoleh sendu kedua bola mata yang kini menatap luka padanya.
"Aku... mau bertemu mamahku."
"Tapi Hana—"
"Bolehkah aku pulang pada mereka?"
Hari ini akan terjadi.
Ya, Gilang sudah menduganya jauh sebelum hari ini.
Hari yang mungkin tak pernah ia minta untuk hadir dalam hidupnya.
"Aku..."
Sayatan itu tertanam di dalam hatinya. Rasa tangis dan sedih rasanya mengoyak habis perasaannya.
"Apa kamu akan meninggalkan kami?" lirih Gilang.
Hana tertegun sejenak, lalu menggeleng pelan. Air matanya sudah merebak ke luar dari tempat persembunyiannya.
"Aku masih punya mereka... dan akan selamanya mempunyai kalian."
Gilang menunduk dalam.
"Bisakah aku pulang?"
Tatapan itu tiba-tiba terpaku pada ketiga orang yang baru saja muncul dari balik hordeng panjang yang juntaiannya menyapu lantai rumah sakit tersebut. Ia yakin, gerakan hembusan kecil yang menggoyangkan hordeng tadi adalah mereka yang tadi terdiam bersembunyi sambil mendengarkan semuanya.
Wajahnya yang memutih karena aliran darahnya yang tidak lancar seperti biasanya—menatap dalam mata yang kini juga menatapnya sama seperti hari-hari kemarin.
Tatapan itu, yang sudah terus menemani hari-harinya sejak kepergian Gibran.
Tatapan yang sama hangatnya dengan Gibran.
"Hai..."
Cekatan itu terdengar rapuh, membuat Hana kembali merintih dalam hati.
Dia yang pernah menjadi alasannya untuk bertahan saat merasa payah untuk sekadar datang ke sekolah.
Dia yang pernah menjadi alasannya untuk tetap berjuang mendekatinya, walau ia tahu—mendekatinya sama saja menenggelamkan diri pada kenyataan pahit yang selalu menghantuinya.
Dia pernah menjadi alasan, untuk tetap bertanya gerangan apa yang selalu ia rasakan setiap kali mereka berjumpa.
Bukankah semua itu tanda?
Bahwa Farhan pernah menjadi kepingan memori ingatannya yang hilang.
Karena sejatinya sesosok Farhan selalu bersama ingatannya yang dulu, maupun sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Heart Speaks
Jugendliteratur"Mungkin aku salah satu dari ribuan orang di bumi ini yang hanya bisa menikmati senyumannya tanpa harus tahu siapa gerangan yang membuatnya tersenyum, sangat mengenalnya tanpa harus dikenal olehnya, dan mencintainya tanpa harus mengharapkan sebuah b...