"Berandai-andai dalam imajinasi kita itu menyenangkan.
Yang menyakitkan itu ketika kita tersadar bahwa kita hidup dalam kehidupan yang nyata, bukan dalam kehidupan yang kita andai-andaikan."-Hana-
----------
Sedari tadi Gibran hanya menatap dalam diam objek yang kini sedang melabuhkan kapas berbetadine di pelispinya yang terluka.
Menatap objek yang sedari tadi tak menatap ke matanya sekalipun.
Menatap objek yang semenjak hari itu mengisi kekosongan di hari-harinya.
Mengisi kekosongan akan rindu pada seseorang yang telah lama pergi.
Mengisi kekosongan akan suatu hal yang telah lama hilang dan tak akan pernah kembali.
Menatap objek yang selalu terlihat tegar namun sebenarnya amat sangat rapuh.
Menatap objek nyata sesosok gadis cantik dengan bola mata yang indah.
Dan menatap objek nyata dalam kebisuan yang selalu ia lakukan.
"Ini semua gara-gara aku," batin Hana lirih.
Setelah selesai mengobati Gibran, Hana memilih untuk memundurkan wajahnya menjauh dari wajah Gibran tanpa sedikitpun menatap mata Gibran.
Tak lama kemudian, Hana merasakan ada telapak tangan seseorang yang kini menyentuh pipinya lembut.
Menangkupnya dengan penuh kehati-hatian.
Dengan penuh rasa sayang, serta rasa yang baru saja ia rasakan dari tangkupan telapak tangan tersebut.
Seketika Hana membulatkan matanya sembari mendongak.
"Gak usah nangis lagi," ujar Gibran, "jangan cengeng," lanjutnya sembari terus mengusap air mata yang telah jatuh di pipi Hana.
Gibran mulai memalingkan wajahnya, menarik kembali kedua tangannya dan mulai melenggang pergi dari hadapan Hana.
Tujuannya sekarang adalah,
Pulang.
"Aku mimpi ya?" batin Hana.
Tersadar jika Gibran sudah meninggalkannya, buru-buru ia mengayuhkan kakinya dengan cepat, berniat untuk mengejar langkahnya yang tertinggal oleh Gibran.
Namun saat sudah dekat dengan kelasnya, terlihat batang hidung murid laki-laki yang keluar dari kelasnya tersebut.
Dan mulai berjalan mendekat ke arahnya.
Tanpa berbicara apapun, murid tersebut sudah menarik pelan tangan Hana dan mulai menyelipkan jemarinya dengan jemari Hana.
Sedangkan Hana lagi-lagi membulatkan matanya.
Merasakan kembali detakan jantung yang berdebar cepat.
Membuat setiap hentakan demi hentakan meninggalkan rasa penasaran akan suatu hal.
Suatu hal yang baru saja ia rasakan hari ini.
"Masuk," ucap Gibran setelah membukakan pintu mobilnya untuk Hana.
Hana pun hanya terdiam sembari menuruti kata-kata dari kakaknya tersebut.
Suasana semakin hening ketika Gibran mulai menjalankan mobilnya.
Dan keheningan di antara dua insan tersebut berlanjut sampai mereka tiba di rumah.
***
"Ya udah, gue mau balik sekarang aja. Lagi pula kelas gue pelajaran terakhir gak ada gurunya alias free class."
"Oke, hati-hati!" sahut Bagas.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Heart Speaks
Teen Fiction"Mungkin aku salah satu dari ribuan orang di bumi ini yang hanya bisa menikmati senyumannya tanpa harus tahu siapa gerangan yang membuatnya tersenyum, sangat mengenalnya tanpa harus dikenal olehnya, dan mencintainya tanpa harus mengharapkan sebuah b...