Ditya memakirkan motornya lalu ia segera masuk ke dalam rumah.
“Ditya pulang” ujarnya tak bersemangat. Jika dulu akan ada yang menyambutnya, kini semua kebiasaan itu menghilang. Tidak ada lagi ocehan nyaring dari sang Mama karena Ditya terus memakai sepatunya hingga ke dalam rumah. Tidak ada lagi perintah memaksa dari sang Mama agar ia segera makan. Dan Ditya merindukan itu.
Sungguh ia sangat membenci jika harus mengingat ini. Kini Mamanya terpaksa harus mengurus perusahaannya sendiri demi menghidupi dirinya. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju kamarnya.
Dihempaskan tubuhnya ke kasur. Dengan tangan yang menutupi wajahnya, ia mencoba memejamkan mata. Hingga akhirnya ia tertidur dengan seragam yang masih menempel di tubuhnya.***
Gisya belum berhenti juga memainkan remote nya. Ia terus menekan-nekan tombol remote itu tanpa ada niatan berhenti. Langit sudah pulang sejak setengah jam yang lalu karena sang Mama mencarinya.
Hh .. Mama. Mungkinkah Mamanya juga mengingat dirinya. Tentu jawabannya pasti tidak. Karena Mamanya lebih mementingkan perusahaannya dibanding dirinya. Perusahaan keluarga Gisya lebih banyak berada di luar kota. Itu membuat sang Mama sangat jarang mengunjunginya.
Gisya hanya berdua dengan kakanya di rumah sebesar ini. ‘Mending gembel deh gue. tinggal di gubuk tapi gue bisa ketemu keluarga gue setiap hari’. Itu kata-kata yang sering keluar dari mulut Gisya jika ia sudah merasa sangat kesal.
Gisya bukannya tidak bersyukur. Ia malah sangat bersyukur karena hidupnya lebih dari cukup. Tapi jujur, bukan ini yang ia inginkan. Ia juga ingin seperti anak-anak yang lain. Disambut di depan pintu ketika ia pulang sekolah. Diminta untuk segera makan atau mengganti seragamnya. Ia menginginkan itu.
Sedangkan Papanya ? juga sama saja. Sejak 5 tahun yang lalu Papanya menetap di luar kota dan hanya beberapa bulan ia pulang ke rumah. Itu pun hanya sehari. Gisya tidak mengerti jenis keluarga apa yang ia miliki sekarang.
Lamunannya terpecah kala seseorang memegang puncak kepalanya. Gisya mendongakkan kepalanya dan menatap senang kearah orang itu.
“Katanya sakit ?” Tanya orang itu penuh perhatian.
Gisya kemudian memanyunkan bibirnya. “Siapa yang bilang sih kak ? kak Langit aja yang lebay”.
Ya, dia adalah Gilvran –kakak Gisya-. Mahasiswa semester 6 teknik sipil Universitas Satya Dharma. Seperti mahasiswa teknik sipil pada umumnya, Gilvran memiliki wajah diatas rata-rata alias ganteng menawan bin kece –serius gue nggak bohong-. Tingginya mencapai 179 cm, kulitnya putih dan dengan hidung mancung serta bibir yang sedikit tebal menghiasi wajahnya. Ia seperti Langit, ngirit senyum.
Gisya sedikit bangga memiliki kakak seperti Gilvran. Ya sedikit. Karena Gisya lebih banyak keselnya. Dengan apa yang dimiliki Gilvran, tak ayal membuat kaum hawa tergila-gila padanya. Dulu pernah sekali Gilvran menjemput dirinya di sekolah. Bukannya menguntungkan tetapi malah membuat ia menderita. Pasalnya sang kakak ditawan oleh para gadis Bintang Bangsa yang membuat dirinya jadi naik angkot.
Parahnya lagi, sahabatnya juga ikut-ikutan. Memang benar-benar Priskila, tidak bisa melihat cowok ganteng sedikit aja. Langit juga dia idolain.
“Tapi beneran nggak papa ?” tanyanya lagi. Kali ini Gilvran sudah duduk di sofa yang sama dengan Gisya.
“Enggak kak. Suer deh. Jangan terlalu ngkhawatirin gue”
Gilvran menghembuskan nafasnya berat. Adiknya ini benar-benar keras kepala. “Hh. Yaudah deh. Tau gitu kan nggak pulang cepet-cepet”Gisya melotot mendengar penuturan kakaknya. “Jadi lo nyesel pulang ? lo nggak mau ngliat adek lo yang super cantik ini ? lo- hmmpf” sebelum Gisya menyelesaikan omelannya. Gilvran sudah lebih dulu mengunci mulut Gisya dengan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Batas Senja
Teen Fiction"Angin yang mengecup lembut tiap rambutmu adalah aku yang menjelma waktu, untuk bisa menjagamu diam-diam dari kejauhan" ..