Laki-Laki Kecil itu ... Raditya

1.1K 39 3
                                    

Gisya membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Badannya terasa begitu pegal. Ia meletakkan slingbagnya asal yang membuat dompet hitamnya terjatuh. Ia mengambil dompet itu kemudian membukanya. Pemandangan dompet ini masih sama seperti beberapa bulan yang lalu, dimana ia akan disambut dengan fotonya bersama Langit. Entah sampai kapan ia akan menyimpan foto itu. Mungkin akan selamanya ia simpan. Karena Gisya termasuk seseorang yang sangat menghargai kenangan. Tidak, mungkin lebih tepatnya ia takut kehilangan kenangan itu.

Gisya mengambil beberapa foto lainnya. Fokusnya terhenti pada salah satu foto yang mungkin sudah ia simpan sejak beberapa tahun yang lalu. Ingatannya terlempar pada kejadian sore tadi. Saat Ditya mengatakan mengenai perasaannya.

*Flashback on

"Sya, ada satu hal yang pengen gue omongin sama lo"

"Apa ?"

"Tentang perasaan gue"

Gisya sedikit was-was. Pembahasan kali ini baginya sangat sensitif. Namun ia tetap membiarkan Ditya mencurahkan isi hatinya.

"Mungkin elo udah lupa gimana kita dulu. Tapi gue inget semuanya, gue nggak pernah sedikitpun berhenti untuk mengingatnya. Karena gue berpikir, gue akan menceritakannya setelah kita bertemu lagi. Gue selalu bersyukur dengan pertemuan pertama kali kita. Saat itu di kantin. Gue nyrobot antrian dan nggak taunya di depan gue itu elo. Elo marah-marah sama gue, mulai saat itu gue tertarik untuk selalu gangguin lo. Mungkin gue keterlaluan, tapi lo tahu ? gue seneng setiap denger lo teriak, setiap kali lo natap gue marah. Kenapa ? karena dengan begitu lo nglihat gue"

"Gue selalu ngikutin lo pulang. Awalnya gue iseng. Tapi lama kelamaan itu kayak jadi kewajiban buat gue nganterin lo. Hh, gue gila ya. Gue gangguin lo setiap saat. Gue selalu jadi yang paling semangat lakuin itu. Sampai yang paling terakhir gue sobekin surat bahasa inggris lo. Gue bukannya nggak sengaja. Lo tau ? Gue marah waktu itu, marah banget. Itu pertama kalinya gue ngrasa kesal sama lo. Gue nggak pernah nyangka .... "

Ditya berhenti sejenak sebelum melanjutkannya kembali. "Gue rasa lo tahu alasannya"

Tanpa sadar Gisya menggigit bibirnya. Ya, ia tahu alasannya, sangat tahu. Tapi ini bukan salahnya kan ? Toh saat itu ia bebas melakukan apapun.

"Gue pergi malam itu. Gue nggak pamit sama siapapun. Tapi lo tahu ? Ada satu hal yang gue lupain Sya"

Ditya meraih tangan Gisya dan menggenggamnya. Sementara Gisya ia mencoba untuk berani menatap Ditya.

"Mengartikan perasaan gue sama lo"

Tes ! Entah apa yang membuat air mata Gisya menetes begitu saja. Dadanya bergemuruh.

"Awalnya gue pikir itu hanya perasaan yang begitu saja muncul karena rasa bersalah gue. Tapi ternyata gue salah, semuanya menjadi mimpi buruk buat gue. Gue mencintai gadis kecil itu dan sayangnya gue terlambat"

"Lo inget temen kecil yang pernah gue ceritain ke elo ? Itu elo sendiri Zel. Apasih gue ? Cuma anak kecil yang belum sepenuhnya paham soal cinta. Tapi gue nyari lo waktu itu Zel. Gue nyari lo kemana-mana. Setiap ada kesempatan gue selalu nyari lo. Semua itu gue lakukan hanya agar gue nggak menyesal. Tapi, lo nggak pernah ketemu. Gue selalu kalah sama senja"

Ditya menghembuskan nafasnya. Masih sanggupkah ia meneruskan cerita ini ?

Dijauhkannya tangannya itu dari tangan Gisya.

"Gue hampir menyerah Sya. Untungnya gue inget, gue nggak boleh menyerah. Kenapa ? Karena cuma lo tujuan hidup gue. Bagaimana gue bisa hidup dengan benar kalau gue nggak nemuin lo. Lo yang selalu gue jaga di hati gue selama ini"

Gisya masih belum menemukan kesadarannya. Cerita demi cerita yang dilontarkan Ditya berputar-putar di pikirannya. Lamunannya terpecah kala Ditya kembali menyentuh tangannya.

Di Batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang