Permintaan Terakhir

1.1K 36 7
                                    

"Aku ingin dan akan selalu mencintainya. Karena perasaan itu benar adanya. Bukan lagi ilusi, delusi, atau imajinasi"

***

Sore itu matahari mulai memendarkan warna jingganya. Sisa tangisan alam yang terjadi beberapa jam lalu masih mengukuhkan jejaknya di jalanan. Sesekali masih terdengar pula gemuruh petir.

Lelaki itu memarkirkan motornya dan bergegas untuk segera masuk ke dalam rumah. Seragam sekolah yang tadi pagi ia kenakan, sekarang sudah jauh dari kata rapi. Semua kancing baju itu terlepas tak semestinya, hingga kini kaos putih polos yang melekat di tubuhnya dapat terlihat dengan jelas.

Dirinya bahkan enggan mengucapkan salam yang biasa ia lakukan. Lelaki itu langsung merebahkan tubuhnya di sofa setelah melemparkan tasnya begitu saja. Ia memejamkan mata, nafasnya naik turun tak beraturan. Seorang wanita yang saat itu baru saja menyadari kedatangan anaknya, mengernyit sedikit heran.

"Langit ?". Panggilnya, seolah memastikan apakah benar ia putranya atau bukan.

"Hmm"

Setelahnya, wanita itu mendekati dan duduk di sofa yang sama. Ia menepuk kaki Langit. "Kamu kenapa ?"

Langit sama sekali tak merubah posisinya. Ia masih saja terpejam. "Jatuh cinta itu sakit ya Ma ? tapi herannya, kenapa Langit malah nyaman di posisi itu"

Mamanya terdiam. Merasa Langit tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ia baru saja ingin membuka suara, namun Langit sudah lebih dulu memotongnya.

"Langit putus sama Gisya Ma" jujur Langit pada akhirnya.

"Apa ?" Tanya Mama Langit terkejut. Karena selama ini yang ia tahu, hubungan anaknya itu baik-baik saja.

"Langit yang salah. Langit terlalu gegabah ambil keputusan, dan baru sadar setelah dia juga melepas Langit"

Mama Langit merasa prihatin. Ia tersenyum samar berusaha menguatkan anaknya. "Keputusan yang tepat adalah keputusan yang tanpa sadar keluar dari mulut tanpa melalui pikiran, karena keputusan itu berasal dari hati. Walau terkadang ada beberapa penyesalan yang mengikutinya"

"Mama sedih tahu kamu sudah putus dengan Gisya. Buat Mama, Gisya itu udah kayak anak Mama sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, mungkin kalian akan lebih baik jika berjalan sendiri-sendiri. Jangan seperti ini lagi. Kamu laki-laki, putus cinta memang menyakitkan, tapi tak seharusnya membuat terlihat lemah"

"Cepat ganti baju. Abis itu makan. Mama tinggal dulu"

Langit mendengus kasar sepeninggal Mamanya. Ia bukannya lemah, hanya saja ia mencoba menahan emosinya. Menahan untuk tidak membanting apapun yang ada di dalam rumahnya. Andai saja kejadian beberapa bulan yang lalu tidak pernah terjadi. Andai saja Mamanya .... Ah sudahlah, anggap saja ini sebagai usaha untuk membahagiakan Mamanya. Walaupun Mamanya tidak tahu dengan kebahagiaan itu, Ia menghancurkan harapan seseorang.

***

Dua orang manusia itu sama-sama terdiam, menatap kosong kearah lapangan yang berada dihadapannya. Mereka duduk di sebuah bangku di pinggir lapangan basket yang berada di Bale Endah, bergelut dengan pikirannya masing-masing. Walaupun salah satunya terlihat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.

"Mau berapa lama ?" Tanya seseorang itu pada akhirnya.

"Hah ?" seseorang yang lain menoleh tak mengerti.

"Mau berapa lama diem-dieman kayak gini Sya ?" ulangnya lagi dengan pertanyaan yang lebih jelas.

"Lo juga diem"

"Ya masak gue ngomong sendiri. Ntar kalau orang lain lihat gimana ? terus lo disamperin, eh mbak itu pacarnya yang ganteng kenapa ngomong sendiri, depresi ya ? gimana coba ? lo bisa jawab ?"

Di Batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang