Jika Senja

1K 38 0
                                    

Gisya nampak gusar duduk dibangkunya. Berkali-kali ia menghembuskan nafasnya. Membuat Priskila yang duduk di samping gadis itu juga berkali-kali menoleh kearahnya.

"Elo kenapa sih Sya ?"

Gisya menghendikkan bahunya. Hal seperti ini sudah biasa bagi Priskila. Gisya melemparkan pulpen yang sebelumnya ia pegang lantas menelungkupkan kepalanya ke meja.

"Nih tugas dikumpul kapan sih ?"

Priskila melega. Ternyata hanya masalah tugas toh ? tadinya ia pikir ada apa-apa lagi dengan sahabatnya yang paling dingin ini.

"Paling lambat besok jam 12"

"Cabut yuk ke rooftop"

Priskila mengernyit. Baru pertama kali ini sahabatnya itu mengajak dirinya. Biasanya dirinyalah yang mengajak Gisya. Untuk itu dengan semangat 45 ia mengangguk.

"Boleh. Tapi lo duluan aja ya. Gue mau ke kamar mandi dulu" ujar Priskila nyengir.

Gisya mengangguk mengiyakan. Lalu dirinya berjalan keluar kelas menuju rooftop yang berada di gedung sekolahnya sebelah barat. Jam pelajaran biologi hari ini kosong dan siswa hanya diberikan tugas oleh guru yang baru akan dikumpulkan besok. Untuk itu Gisya memilih menunda mengerjakan tugasnya dan berniat mencari ketenangan.

Gisya menutup pintu rooftop pelan. Ia mengedarkan pandangannya. Tanpa sadar sebuah senyum terulas dari sudut bibirnya. Ia melangkahkan kakinya mendekati dinding pembatas rooftop. Namun langkahnya terhenti saat matanya menangkap siluet seseorang. Seorang laki-laki tinggi dengan punggung yang sangat ia kenali tengah duduk di sebuah bangku dihadapannya.

Gisya menengguk ludah, bingung apa yang harus ia lakukan. Ia memejamkan mata. Setelah berperang dengan batinnya sendiri dan menguatkan hatinya, akhirnya ia memutuskan untuk mendekati laki-laki itu. Toh ia tidak bisa selamanya menghindar. Ia akan mendengarkan apapun yang akan laki-laki itu ungkapkan.

Gisya berjalan mendekati laki-laki itu. Ia sedikit gugup mengingat terakhir kali mereka bertemu dalam keadaan yang tidak baik.

"Boleh gue duduk ?" Tanya Gisya saat ia sudah berdiri di samping lelaki itu.

Lelaki itu sedikit terlonjak dengan kehadiran Gisya. Raut wajahnya tak tertebak. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Memastikan apakah gadis yang berada di hadapannya ini adalah Gisya.

"Gisya ?"

Gisya semakin bergetar mendengar suara itu. Rasanya sudah begitu lama. Sejak kejadian malam itu, ia selalu menghindari lelaki ini.

"Bo-boleh duduk aja". Lelaki itu tak kalah gugupnya. Ia menggeser sedikit tubuhnya memberikan tempat untuk Gisya.

Gisya mengangguk kemudian ikut duduk disamping lelaki itu. Canggung. Itulah yang ia rasakan. Seolah ada sebuah jurang yang berada diantara mereka.

Gisya tidak pernah mengira dirinya dengan Langit-lelaki itu- akan berakhir seperti ini. Dari awal seharusnya ia bisa mengatasi masalah ini. Sahabat menjadi pacar mungkin masih bisa terjadi, namun jika pacar menjadi sahabat ? Sepertinya akan sulit untuk dilakukan. Bagaimanapun urusan hati lah yang sudah menguasainya.

"Gimana keadaan lo ? Udah sehat"

Gisya menggigit bibirnya. Sebisa mungkin ia menahan gejolak di dada ya. Ia menghembuskan nafasnya pelan.

"Seperti yang kakak liat, gue udah nggak papa"

"Maafin gue ya Sya karena gue udah buang undangan lo waktu itu"

Gisya menggeleng. "Nggak usah dibahas lagi kak"

Tanpa Gisya duga, lelaki disampingnya ini menundukkan kepalanya seolah ada beribu beban yang menumpunya. Nafas lelaki itu memberat.

Di Batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang