Senandung Hujan

1K 37 10
                                    

"Aku sayang sama kakak"

"Gue juga sayang sama lo"

Mata serta dadanya memanas melihat pemandangan dihadapannya. Niatnya untuk mencari ketenangan berujung dengan rasa sakit hati yang luar biasa. Apa yang sudah ia perjuangkan mati-matian selama ini, tak pernah sedikitpun melihatnya. Sepertinya memang benar, ia hanyalah pengganggu untuk gadis itu. Ia tak memiliki arti apapun di hidup cinta pertamanya. Maka setelah ini, ia sendiri yang akan memastikan, akan dijauhinya gadis itu.

"Sebenarnya apa kurangnya gue sih Sya ?" gumam Ditya setelah ia mengingat kembali kejadian di taman sore itu.

"Apa kurang lama gue nunggu lo selama ini ? apa masih kurang semua usaha gue ? gue udah berusaha berubah buat lo buat jadi yang lebih baik, tapi ... lo malah balikan sama cowok yang jelas-jelas udah nyakitin lo"

Ditya terus bergumam. Tangannya tak berhenti memetik gitar yang tengah ia pegang. Hingga kini menjadi nada intro sebuah lagu.

Senja kini berganti malam

Menutup hati yang lelah

Dimanakah engkau berada ? aku tak tahu dimana


Pernah kita lalui semua

Jerit tangis canda tawa

Kini hanya untaian kata

Hanya itulah yang aku punya


Tidurlah selamat malam .. lupakan sajalah aku

Mimpilah dalam tidurmu

Bersama bintang


Sesungguhnya aku tak bisa

Jalani waktu tanpamu

Perpisahan bukanlah duka

Meski harus menyisakan luka


Dirinya terus bernyanyi, tanpa Ditya tahu kini seseorang tengah berdiri di depan pintu ruang musik tempat dirinya berada. Ruang musik yang tidak disetting kedap suara, membuat orang itu dapat mendengar jelas lantunan lagu yang sedang Ditya nyanyikan. Entah mengapa air matanya tak mau berhenti. Ia hanya takut, lelaki itu juga akan melepasnya.

Ya, Gisya memang membatalkan niat konyolnya yang sempat terbesit di otaknya tadi. Tiba-tiba saja ia tertarik untuk memasuki area khusus ruangan-ruangan ekskul yang ada di sekolahnya. Dan langkahnya terhenti saat indera pendengarannya menangkap suara petikan gitar yang ia kenal.

Gisya masih tetap saja mematung. Kesadarannya baru kembali setelah pintu dihadapannya tiba-tiba terbuka dan memunculkan seseorang yang sama terkejutnya. Hanya desauan angin yang menyemarakkan pertemuan dua manusia itu.

Tak perlu waktu yang lama, Ditya akhirnya tersadar lebih dulu. Cepat ia melangkahkan kakinya menjauhi Gisya. Namun baru dua langkah ia terhenti lagi saat tangannya digenggam oleh Gisya. Waktu seakan berhenti. Tak ada yang bergerak sedikitpun. Bagaikan sebuah momen yang diabadikan oleh kamera.

Ditya berusaha susah payah menelan salivanya dan menahan gejolak di dadanya. Bayangan yang membuat hatinya memanas kembali terulang. Ia sebisa mungkin melepaskan tangannya dari Gisya sebelum emosinya meledak keluar.

"Biarin gue jauhin lo seperti apa yang lo mau"

"Tap—Dit ! plis jangan kayak gini !"

Ditya tak mempedulikan lagi teriakan Gisya. Ia terus melangkah. Ia berusaha menulikan telinganya. Sudahlah. Ini jalan yang sudah ia pilih. Ini yang terbaik untuk semuanya.

Di Batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang