Keputusan

1.3K 40 0
                                    

Malam harinya ..

Di tempat lain, Langit masih memegang kertas itu. Pandangannya kosong kearah langit luas yang berada diatasnya. Ya, ia kini sedang berada di balkon kamarnya. Sejak satu jam yang lalu ia hanya diam disini. Menimang-nimang apa yang harus ia lakukan. Ingatannya kembali terlempar pada kejadian sehari yang lalu dimana pada saat sang mama memperkenalkannya pada seseorang. Dadanya bergemuruh. Haruskah ia memilih sekarang ? memilih siapa seseorang yang lebih ia sayangi dan lebih penting untuk ia bahagiakan. Dan Langit bersumpah ini adalah pilihan tersulit. Tidakkah ia bisa egois untuk memilih keduanya ?

Langit kembali melirik entah kertas apa itu. Ia sudah memutuskan. Semoga ini yang terbaik, batinnya. Hanya dengan inilah satu-satunya cara agar ia bisa bersama dengan keduanya. Ia akan melepaskan salah satunya, sebagai gantinya ia akan masuk ke dalam hidup gadis itu.

Langit mengusap wajahnya kasar. Pandanganya berdalih pada kunci motor yang berada di meja belajarnya. Dengan secepat kilat, ia menyambar kunci itu dan bergegas keluar.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di depan rumah bergaya klasik minimalis yang sudah ia datangi hampir 2 tahun ini. Rumah Gisya. Langit tersenyum getir. Ia bahkan melupakan kekasihnya itu karena masalah yang mengusik kehidupannya. Langit tiba-tiba saja terbayang bagaimana jadinya jika ia menjadi Gisya, baru mendapatkan masalah sekecil ini saja sudah membuatnya hampir gila. Seketika itu ia kembali disergapi rasa bersalah mengingat apa tujuannya ia kesini.

Langit memarkirkan motor sport hitamnya. Setelah menghembuskan nafas berat ia berjalan dan mengetuk pintu rumah itu. Selang sebentar, terdengar suara krasak krusuk di dalam dan muncul lah seseorang dari balik pintu.

"Langit ?" tanyanya tak percaya. Langit hanya tersenyum. Jika biasanya ia akan heboh, malam ini ia benar-benar kalem.

"Tumben malem-malem kesini. Ayo masuk" perintah Gilvran. Langit pun mengekor dibelakangnya.

"Gisya ada Bang ?"

"Ada tuh di kamar. Samperin aja" Langit menoleh kearah tangga sebentar sebelum akhirnya ia menaikinya.

Dadanya kembali bergemuruh sesaat saat ia berdiri di depan pintu jati ini -pintu kamar Gisya. Ia membayangkan apa yang sedang dilakukan Gisya di dalam, membayangkan bagaimana reaksi kekasihnya itu kala melihatnya. Akankah ia siap melakukan ini ? Ia sungguh mencintai gadis itu. Bukankah ia sudah pernah mengatakan bahwa Gisya adalah hidupnya. Katakanlah ini berlebihan, tetapi memang seperti itulah kenyataannya. Melalui Gisya ia mengerti bagaimana ia mencintai dan memperjuangkan cinta itu.

Langit kembali pada realita. Jika memang seperti itu, maka ia harus melakukannya. Maaf jika setelah ini ia tidak menepati janji itu, janji untuk selalu menjaga Gisya.

***

Ditya mematikan putung rokoknya yang keempat. Sebenarnya Ditya bukanlah perokok. Ia hanya akan merokok jika keadaannya sedang kacau. Ia bahkan sampai menyeret teman-temannya untuk menemaninya disini, di sebuah cafe yang menyediakan berbagai macam kafein. Marvin, Rama, dan Nanda mau tak mau harus bercokol disini sampai waktu yang belum ditentukan.

"Lo sebenernya kenapa sih ?" Kali ini Marvin angkat bicara setelah menghembuskan asap rokoknya.

Ditya mengangkat sebelah alisnya. "Bayu" katanya dingin.

"Ahilah geng cewek gitu lho pikirin" Rama menimpali.

"Mereka cari gara-gara sama elo ?" Tanya Nanda dingin. Memang diantara mereka berempat Nanda lah yang terdingin sebelum Ditya.

Ditya menggeleng. "Sebenernya dulu gue sama dia itu temenan tapi setelah ada satu kejadian dia jauhin gue. Gue diemin. Gue pikir emang kita nggak ada masalah apapun kan. Sampe akhirnya dia ngusik gue lagi. Yang gue nggak suka dia libatin cewek disini"

Di Batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang