Raditya & Altair

1.3K 43 1
                                    

***

Langit ikut berjongkok di samping orang itu. "Lo nggak papa ? Lain kali jangan ceroboh kalau nggak mau mati" suara Langit ini membuat seseorang itu mendongak. Langit membulatkan matanya.

"Tari ?"

"Maaf" kata gadis itu singkat. Matanya sayu karena efek ketakutannya.

"Tar bantu gue-"

***

Gisya menutup pintu kamarnya pelan. Ia sudah siap untuk berangkat sekolah pagi ini. Bebarengan dengan itu, Gilvran juga baru saja keluar dari kamarnya. Kebetulan hari ini ia ada kuliah pagi. Gisya yang menyadari itu segera menyapa kakaknya.

"Pagi kak" sapanya tak lupa dengan senyum yang tercetak di wajahnya.

Gilvran tercekat. Melihat senyum Gisya tersebut membuat hati Gilvran miris. Tidak seharusnya Gisya tersenyum pagi ini. Bukan, bukan. Bukan Gilvran ingin Gisya bersedih. Hanya saja ia tidak suka Gisya berpura-pura seperti ini.

Gilvran mendengus lantas berjalan mendekati Gisya. Tangannya terulur untuk mengusap puncak kepala adiknya itu.

Hati Gisya mendadak sakit. Entah kenapa matanya kembali mengabur. Perlakuan kakaknya ini seolah menyadarkan betapa lemahnya dirinya. Tidak, jangan lagi. Gisya menguatkan dirinya sendiri. Ia tidak ingin menangis lagi. Ia sudah menangis semalaman. Beruntung matanya tidak terlalu bengkak.

Gisya menggigit bibirnya. Bening itu akhirnya lolos juga. Ia yang tidak berani menatap Gilvran akhirnya menunduk. Bahunya berguncang. Setelah itu ia merasakan tubuh Gilvran yang merengkuhnya.

"Cukup Sya. Lo nggak boleh berlarut. Gue yakin banyak cowok diluar sana yang bahkan lebih baik daripada dia". Gisya mengangguk pelan. Perlahan ia mengusap air matanya.

Gilvran menangkup kedua pipinya seraya tersenyum. "Kakak lo yang paling ganteng ini yang akan nganterin lo. Yuk"

***

Gisya berdecak. Ia kesal mengapa Gilvran memilih jalan ini. Sudah 15 menit ia terjebak macet dan jam sudah menunjukkan pukul 06.45. Matilah dia kalau sampai terlambat. Ya memang sih dia akan terbebas dari hukuman berdiri di depan tiang bendera atau membersihkan halaman sekolah. Tapi tetap saja ia akan dihukum dengan memindahkan tulisan yang berada di buku cetak ke buku catatannya. Sama saja.

"Gelisah amat sih lo ? santai lah mobil ini akan berhenti di depan sekolah lo tepat sebelum gerbang ditutup" oceh Gilvran.

"Santai jantung lo. Mampus gue kak kalau sampe telat"

Gilvran diam. Setelah cukup lama, ia kembali bersuara. "Sya"

"Hmm"

"Kemarin dokter Fredy bilang sama gue-" mendadak Gisya menegang. Ia mengerti kemana pembicaraan ini. Penyakit itu.

"Bilang apa ?" tanya Gisya dengan nada bergetar.

"Secepetnya--" Gilvran menelan salivanya. Susah banget cuma mau bilang. "Lo harus ngasih tau Papa sama Mama"

Rahang Gisya mengeras. Haruskah membicarakannya sepagi ini. "Untuk apa kak ?" ujarnya dingin.

"Yaa dokter Fredy baru bisa bertindak setelah lo ngasih tau Papa Mama"

Gisya mengalihkan pandangannya keluar jendela. "Sayangnya Gisya nggak tertarik. Untuk apa ? Setelah tau mungkin mereka memang akan ngasih pengobatan terbaik. Dan itu akan membuat mereka semakin sibuk. Gisya nggak mau. Gisya cuma butuh perhatian tulus mereka. Bukan karena kasian. Biarin Gisya kayak gini"

"Lo keras kepala banget sih ?" Gilvran menggeram. Emosinya tersulut.

"Lo kayak gitu karena lo nggak tau rasanya jadi gue kak. Lo enak, lo pernah ngrasain kasih sayang mereka. Sedangkan gue ? Gue bahkan mikir apa gue ini anak yang nggak diingin-"

Di Batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang