Nebula ...

1.3K 46 11
                                    


""

Ditya membuka pintu ICU itu. Kehadirannya langsung disambut dengan udara dingin yang berhembus. Seumur-umur ia sama sekali tak pernah ingin masuk ke dalam ruangan ini. Namun malam ini, ia mendadak sangat ingin, itu karena ia ingin menggantikan posisi kekasihnya.

Memang hanya keluarganya lah yang bisa masuk ke dalam ruang ICU ini, tetapi karena Papanya, ia juga memiliki akses untuk masuk ke dalam ruangan ini.

Ditya melangkah pelan mendekati ranjang putih itu. Setelah ia mendudukkan tubuhnya pada sebuah kursi yang tersedia disana, ia meraih tangan Gisya. Mengusap lembut tangan itu. Sementara matanya terus menatap mata Gisya yang tertutup sempurna. Masker oksigen yang terpasang pada Gisya, membuat Ditya tak dapat leluasa manatap wajah itu.

"Kenapa ? aku bakhan tak sungguh-sungguh mengatakan itu. Tentang aku yang ingin menatap kamu tanpa takut kamu akan marah. Sekarang aku nggak akan takut lagi. Aku lebih suka kamu marah daripada seperti ini" ujar Ditya bermonolog sendiri.

"Aku ijinin kamu istirahat tapi bukan berarti untuk waktu yang lama Sya. kamu harus segera bangun"

"Aku kangen kamu sayang"

Ditya menunduk. Ia semakin erat menggenggam tangan Gisya. Satu persatu ingatannya saat bersama Gisya terputar. Ia masih ingat saat pertama kali ia bertemu dengan Gisya di kantin. Saat tangannya menggenggam tangan Gisya untuk pertama kali dan berlari bersama. Semua usahanya mengganggu gadis itu. Semua usahanya mendekati Gisya. Saat di teras rumahnya dan saat di teras Bintang Bangsa. Saat ia meminta gadis itu untuk menjadi miliknya.

Ia masih sangat mengingat semua itu.

Ditya mendongak. Ia tersenyum kecil mencoba terlihat tegar di depan Gisya. "Kamu harus bertahan. Banyak orang yang menginginkan kamu untuk tetap tinggal. Aku, Kak Gilvran, Papa, Langit, dan ... kedua orang tua kamu"

"Tetaplah bertahan untuk aku. I Love You bocileng" ujarnya seraya mengecup kening Gisya. Cukup lama sebelum akhirnya ia keluar dari ruangan itu.

***

Saat Ditya keluar dari ICU, sudah ada Givran disana. Ditya mengangguk sopan kepada Gilvran.

"Kak Gilvran mau masuk ?" Tanya Ditya hati-hati. Gilvran menggeleng.

"Gue belum sanggup melihat Gisya"

"Tapi Gisya butuh support dari kakaknya secara langsung"

"Gue takut tanpa sengaja mengucap salam perpisahan untuk Gisya. Mengijinkan dia untuk pergi. Gue masih butuh dia disini" jujur Gilvran. Ia kemudian melangkah kearah kursi tunggu.

"Ditya pengen denger tentang Gisya. Bisa Kak Gilvran ceritakan ?" pinta Ditya seraya ia ikut duduk di samping Gilvran.

"Bukannya lo udah tau semuanya tentang dia"

Ditya menggeleng tak setuju. "Belum semua. Nyatanya Ditya nggak tahu kalau Gisya punya Kakak yang sangat sayang sama dia"

Gilvran menoleh kearah Ditya yang tengah tersenyum kearahnya. Ia menghembuskan nafasnya berat.

"Gue Cuma mau menggantikan kasih sayang yang Gisya nggak dapat dari orang tua kita. Sejak dia SMP, dia sudah tidak mendapat kasih sayang itu. Orang tua kita terlalu sibuk. Papa pindah ke luar kota, sementara Mama mulai nggak pernah pulang setelah itu. Di rumah yang segede itu Cuma gue sama Gisya yang nempatin. Gue berpikir kalau bukan gue yang memperhatikan Gisya, siapa lagi. Di umurnya saat itu, ia membutuhkan lebih banyak perhatian. Dengan kondisi keluarga gue yang seperti itu, gue takut Gisya terpengaruh dengan hal-hal yang buruk. Tapi nyatanya tidak. Gisya gadis yang baik. Dia pintar. Bahkan beberapa prestasi berhasil ia raih. Tapi kayaknya orang tua gue terlalu menutup mata. Gisya sakit pun mereka nggak tahu. Gisya memang lebih manja dari kecil, tapi ia sama sekali tak protes akan hal itu. Dia jalanin hari-hari dia seolah semuanya baik-baik saja. Itu yang buat gue marah. Mereka seakan-akan nggak peduli dengan Gisya"

Di Batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang