Separuh Alasan

1.1K 39 0
                                    

“Percayalah aku Cuma ingin kamu merasa aman …”

***
“Lo lupain Langit. Bisa ?”

Gisya mengerutkan keningnya tidak mengerti. “Lo itu ngomong apa sih. Nggak jelas banget”

“Nggak jelas yang bagian mana ?”

“Ya itu kenapa lo nyuruh gue lupain Langit. Lo nggak ada hak ke gue kalau lo lupa” ujar Gisya sinis.

Sungguh, Gisya sangat kesal dengan Ditya. Semenjak kehadiran Ditya, hidupnya semakin rumit. Jika saja ia bisa mengembalikan waktu, ia pasti akan dengan senang hati bersujud di kaki Ditya asalkan lelaki itu tidak masuk ke kehidupannya.

Ditya memajukan duduknya hingga jaraknya dengan Gisya semakin dekat.

“Dan lo harus ngikutin semua perintah gue kalau lo juga lupa”. Gisya menegang. Setelah mengucapkan itu, Ditya kembali menyandarkan tubuhnya pada sofa café. 

“Ayolah, lagipula itu juga bukan buat gue, tapi buat lo Sya. Gue Cuma nggak mau liat lo menggenaskan kayak gini. Cowok nggak Cuma Langit doang elah”

“Berhenti urusin hidup gue. Gue mau turutin apapun permintaan lo, tapi enggak untuk yang satu itu” Gisya menatap Ditya dengan tatapan benci. Setelah mengucapkan itu, ia beranjak pergi. Namun segera dicegah dengan cekalan tangan Ditya.

“Lo tau apa yang membuatnya semakin sulit ? karena lo terlalu mengagumi masa lalu itu” ucap Ditya tajam. Ia hanya ingin Gisya sadar.

Gisya memejamkan matanya. Lelaki ini membuat emosinya tersulut. Seketika itu ia berbalik dan menatap Ditya tajam.

“Gue bahkan udah berusaha dari awal. Tapi apa lo tau seberapa besar pengaruh dia buat gue ? dia separuh hidup gue Dit, dia penopang gue. Lo tau apa dampak jika penopang itu hilang ? gue jatuh. Dan seperti apa yang lo bilang, gue terlalu sibuk untuk menghindari lubang di sekitar gue, hingga gue terlambat untuk belajar bangun” suara Gisya semakin lirih. Bulir itu tanpa sengaja menetes dari bening mata Gisya dan sudah dipastikan tidak akan bisa berhenti.

Gisya menutupi wajahnya. Bahunya berguncang. Ini semakin membuat Ditya terenyuh. Bukan ini yang Ditya inginkan. Sebisa mungkin ia menenangkan Gisya. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saja Ditya merengkuh Gisya. Ini adalah kontak fisik pertama Ditya dengan seorang gadis setelah bertahun-tahun ia menutup diri untuk tidak membawa perempuan ke dalam kehidupannya.

“Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya sementara disaat memejamkan mata pun aku bisa melihat kenangan bersamanya”

Ditya menangguk samar. Ia sangat setuju dengan ucapan Gisya. Bagaimanapun ia juga pernah berada di posisi gadis itu.

Masih dengan memeluk Gisya, ia menghembuskan nafasnya kasar. Keadaan semakin rumit karenanya. Harusnya ia tidak perlu peduli dengan masalah Gisya. Ia bisa lepas tangan kapanpun dan hanya akan menuntut permintaannya. Harusnya ia tidak membuang satu permintaan itu Cuma-Cuma seperti ini. Harusnya. Tapi mungkin saja kepala Ditya habis terantuk sesuatu, atau mungkin dedemit di pohon asem sedang menempelinya ketika ia menuju ke DBS, atau mungkin-

Ditya memejamkan mata. Ia tidak mengerti jalan pikirannya sendiri hingga ia membiarkan hidupnya tetap rumit dengan turut serta pada kehidupan gadis itu. Gadis yang seharusnya ia singkirkan jauh-jauh karena sudah membuat masalah di masa indah SMA nya.

Ditya berhenti membual. Ia ingat mereka masih berada di tempat umum dan masih pada posisi berpelukan. Ditya melepaskan Gisya. Ia memegang kedua bahu Gisya.

“Terkadang kita harus melepas suatu hal agar kita dapat terus bergerak maju”

“Lo tau ? gue paling nggak bisa lihat cewek nangis, nggak peduli sekalipun cewek itu adalah musuh gue. intinya gue nggak suka cewek nangis. Gue nggak mau tau, lo masih dibawah otoritas gue. Lo inget kan permintaan pertama gue ? jadi lo lupain Langit kalau nggak mau daftar permintaan lo gue tambah dan lo semakin lama lepas dari gue”

Di Batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang