Gadis Kecil

1.2K 41 3
                                    

Dua arah itu adalah perumpamaan untuk Langit dan Raditya. Dua manusia yang ditakdirkan untuk masuk kedalam kehidupan gadis cantik bernama Gisya. Dari awal sudah dijelaskan bahwa ini bukanlah kisah cinta segitiga. Dan memang bukan seperti itu. Karena tanpa sadar Gisya menginginkan keduanya berada di hidupnya. Hanya saja, ia belum terlalu yakin dengan hatinya. Sejauh mana ia menginginkan mereka.

Gisya sudah benar-benar tidak kuat memendam ini sendiri. Bahkan ia beberapa kali terkena sakit kepala karena memikirkan hal itu semalaman. Karena itu pagi-pagi buta ia meminta Priskila untuk datang ke sekolah lebih awal. Tak main-main, saat ini, tepat pukul 6 pagi, keduanya sudah duduk rapi di sebuah bangku yang berada di pinggir lapangan. Keduanya duduk saling berhadapan dengan sebuah meja semen yang berada di tengah-tengah mereka.

"Lo tumben banget sih nyuruh gue berangkat pagi ? lo sadar nggak ini masih jam berapa ? bahkan gue nggak yakin kecoa di kamar mandi udah pada bangun" ujar Priskila sambil sesekali menguap.

Bayangkan saja, semalaman Gisya membombardirnya dengan ratusan chat. Priskila baru bisa tidur jam setengah 3 pagi. Dan kini jam 6 ia sudah berada di sekolah. Sungguh lebih baik Gisya mengabaikannya saja daripada membuat waktu tidurnya terganggu.

"Gue bingung banget Pris. Sumpah". Gisya tak kalah frustasinya. Jika Priskila masih sempat tidur, dirinya tak bisa tidur sama sekali. Bahkan ia sampai meminum obat yang seharusnya tak boleh ia minum pada malam hari. Permasalahannya ini benar-benar mengganggu otaknya.

"Apa sih yang lo bingungin ?"

"Ya yang semalem itu"

Priskila mendengus. "Semalem apaan ? lo cerita nggak jelas gitu. Gue mana ngerti yang lo maksud. Tuh dua orang punya nama kan ? nah lo ulangin cerita lo pake dua nama itu, biar gue nggak pusing"

"Hissh lo mah. Lidah gue kelu kalo nyebut nama tuh dua orang"

Priskila menggaruk belakang kepalanya. "Yaudah lo cerita lagi deh. Gue dengerin". Priskila mengalah.

Gisya beberapa kali menghirup oksigen. Cerita lagi sama dengan membuatnya gugup lagi. Entahlah, sejak kapan ia jadi remaja yang seperti itu.

"Jadi ... elo inget kan temen kecil gue yang pernah gue ceritain ?"

"He'em. Didit ? yang fotonya di kamar lo itu kan ?"

"Ssssttt jangan keras-keras" Gisya memukul tangan Priskila.

"Iya iya sorry". "Terus .. terus .."

"Nah beberapa waktu lalu ada orang yang nemuin gue dan bilang dia itu Didit"

Mata Priskila membulat. "Serius lo ? dimana ? lo bukannya udah nyari dia lama banget ya ?"

"Iya. Tapi ... masalahnya orang itu adalah orang yang selama ini nggak pernah gue harepin Pris. Gue bingung gue harus gimana. Harus senengkah, atau ..." Gisya mengangkat kedua bahunya.

"Emang apa sih yang lo harepin setelah ketemu temen lo itu"

"Kalau seandainya dia bukan orang itu, mungkin gue bakal cerita banyak hal sama dia setelah dia pergi. Gimana sepinya hari-hari gue tanpa ada dia yang gangguin"

"Terus kenapa lo nggak bisa nglakuin hal itu juga dengan 'orang itu' ?"

"Karena gue masih belum sepenuhnya menerima orang itu sebagai masa lalu gue. Gue selama ini bilang sama dia kalau gue benci sama dia. Gue selalu nyuruh dia pergi dari hidup gue. Hanya karena masalah ini, gue nggak mungkin kan minta dia kembali lagi sama gue dan tetap disamping gue ?"

"Lo gengsi ?". "Gisya ... Gisya ... buat apa sih hidup diatas kegengsian. Lo tau ? satu gengsi yang tercipta di diri lo sama aja satu kesempatan lo buang sia-sia. Lo udah nunggu dia lama, dan sekarang saat dia udah ada di depan mata lo, lo mau pura-pura buta ?"

Di Batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang