Di Sebuah Teras

1.2K 37 3
                                    

Mana yang lebih buat lo nyaman ?

Mana yang lebih buat lo merasa tenang ?

Mana yang lebih bisa dukung lo ?

Mana yang lebih bisa buat lo bahagia ?

Mana yang lebih lo harapkan kehadirannya ?

Dan mana yang lebih lama lo tunggu ?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkejaran di otak Gisya. Jawabannya hanya satu. Satu nama dan itu adalah ... Raditya.

Entah bagaimana bisa nama itu yang begitu saja keluar dari hati Gisya. Tapi memang begitulah kenyataannya. Sebesar apapun ia menolak kehadiran Ditya, hatinya semakin memberontak. Tanpa sadar kehadiran Ditya selama ini mampu menggeser posisi Langit.

Mungkin itulah alasan mengapa ia sangat sulit untuk menerima Langit kembali.

Hanya saja ia juga tidak bisa begitu saja bersama Ditya. Masih ada banyak hal yang harus Gisya pikirkan. Pernyataan Ditya tempo hari membuatnya merasa takut. Ia takut mengecewakan Ditya dengan keadaannya. Ia bukanlah Gisya yang dulu, yang masih bisa menjanjikan untuk bisa selalu bersama dengan lelaki itu.

Gisya kembali memfokuskan pandangannya. Saat ini ia tengah berdiri di depan jendela kelasnya. Mengamati setiapan gerakan dua orang laki-laki yang tengah berlari mengelilingi lapangan. Seragam kedua laki-laki itu telah basah dengan keringat mereka.

Entah apa yang sampai membuat mereka berlari mengelilingi lapangan seperti itu. Mungkin dihukum. Dua laki-laki itu berlari beriringan, namun berkali-kali mereka terlihat saling dorong-mendorong. Sesekali juga keduanya terlibat percekcokan. Gisya mengamati semua itu tanpa berkedip.

Kedua laki-laki yang akhir-akhir ini membuatnya dilema.

Sudut bibir Gisya terangkat begitu saja melihat perdebatan kecil mereka yang berakhir dengan perginya Langit. Sebelum pergi, lelaki itu menyempatkan untuk mendorong Ditya. Wajahnya terlihat kesal. Sementara Ditya, ia terlihat sangat puas atas perbuatannya.

Semuanya tak luput dari pandangan seseorang yang kini bergerak mendekati Gisya. Gisya menatap sekilas seseorang yang berdiri disampingnya. Orang itu ikut melongokkan kepalanya keluar jendela, ingin memastikan apa yang sebenarnya sedang menyita perhatian sahabatnya itu.

"Lo ngliatin apa sih ?" Tanya orang itu penasaran. Priskila. Tak lama matanya menangkap bayangan seseorang yang ia kenal.

"Ooh pantes. Jadi akhirnya Kak Ditya nih" goda Priskila.

Gisya tersipu. Tunggu ! sejak kapan ia jadi mudah tersipu begini.

"Apaan sih ?" sungut Gisya. Ia mengulum bibirnya kemudian kembali menatap kedepan setelah sebelumnya menatap Priskila.

Priskila memegang bahu Gisya dengan kening berkerut, membuat mata Gisya kembali terarah padanya.

"Lo mimisan ?"

Gisya sedikit tersentak. Dengan gerakan cepat ia membersihkan darah dihidungnya dengan punggung tangan. Kenapa harus di depan Priskila ? batinnya.

"Gue kecapekan kali" ujar Gisya tak mampu menyembunyikan kegugupannya.

"Apa yang lo sembunyiin dari gue ?". Dada Gisya terasa begitu berat. Mungkin ini saatnya sahabatnya itu tahu.

Gisya mengembangkan senyumnya tipis. "Pris mau denger cerita gue lagi ?"

Priskila mengangguk antusias. Ia menyiapkan telinganya baik-baik untuk mendengar cerita Gisya.

Nafas Gisya memberat. Pita suaranya membengkak, membuatnya sulit untuk mengeluarkan suara.

Di Batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang