Setelah tangisnya reda, Ve mengemudikan mobilnya memecah kepadatan malam kota.
Matanya yang masih terdapat beberapa genangan air, ia tepis kasar. Lembab di pipinya mengering karena sapuan angin dari arah luar mobil.
Ia sengaja mematikan AC dan membuka kaca jendela demi mengurangi mati rasanya akan sepi.
Kerlip lampu di pinggir jalan, tidak lagi membius pandangan Ve. Dalam tatapan lurusnya, hanya ada satu fokus.
Satu cahaya yang mampu meredam segala kilauan dunia di sekitarnya. Naomi. Cahaya dalam kegelapan hidupnya yang ia hancurkan cangkangnya.
Baginya, Naomi merupakan cahaya yang harus ia lindungi dengan bahan cangkang paling sempurna. Cangkang dengan bahan terbaik yang pernah ada di dunia. Namun, karena kecerobohannya, ia juga yang menghancurkan cangkang tersebut.
Saat ini, tinggallah ia yang menyesali apa yang telah kecerobohannya lakukan. Bukan. Bukan tentang ceroboh. Ini tentang dirinya. Kesalahannya.
Ve melajukan mobilnya ke salah satu club terkenal di pusat kota. Ia pesan minuman dengan kadar alkohol tinggi setelah sebelumnya ia menyewa ruang private VVIP.
Ve terus mengumpat dan meneguk minumannya. Tiap tetes yang membasahi tenggorokkannya terasa membasahi luka di hatinya.
Sangat sakit.
Ia menangis kala air tersebut terjun bebas di dalam tenggorokkannya. Tidak ada rasa selain penyesalan dan sakit hati yang ia rasakan.
Semua seakan tertekan oleh hempasan cairan alkohol di dalam tubuhnya.
Hingga akhirnya dering telepon yang sedari tadi menghempaskan angannya untuk kembali ke dunia nyata.
Incoming Call Jeje.
"Halo, Ve. Lo dimana? Gw teleponin daritadi ga lo angkat. Kemana aja lo? Lagi apa? Dimana sekarang?" Jeje terus bertanya dengan nada panik tanpa jeda.
"Lo siapa sih?" Ve tidak sadar dengan siapa ia berbicara. Kepalanya sudah sangat pusing. Ia hanya ingin menyudahi dering tersebut namun ia salah menekan. Tombol merah yang ia harus tekan tidak sesuai dengan apa yang ia lakukan. Ia menekan tombol hijau.
"Tunggu gw" tegas Jeje dengan segera mengakhiri sambungannya. Gila Jeje membatin kesal mendengar jawaban dari sahabat yang ia cintai.
Ve heran dengan sambungan yang baru saja terjadi. Tanpa menghiraukannya, ia membuang asal hpnya ke atas sofa di sampingnya. Ia sendiri kembali meneguk minumannya.
Beruntungnya Jeje mengaktifkan GPS Ve yang dapat terhubung melalui ponselnya. Ia terlalu takut sahabatnya lepas kendali. Dan malam ini, semua terjadi.
Meski ia belum tahu apa yang menjadi penyebab utama mengapa Ve sampai seperti ini, ia sangat yakin ini ada hubungannya dengan Naomi.
Ve bukanlah seorang pemabuk. Berbeda dengan Jeje dan Shania yang memang peminum lebih daripada Ve.
Jeje yang semula berada di apartemen Shania untuk menginap, segera mengambil tas dan juga kunci mobilnya.
Shania yang mendengar kepanikan Jeje sedari menelepon tadi juga sudah mempersiapkan dirinya untuk dapat menjemput sahabat tersayang mereka.
Jeje menatap Shania, dengan mantap Shania mengangguk dan membuka pintu apartemennya.
Mereka berjalan tergesa menuju basement tempat mobil Jeje terparkir. Tanpa menunggu waktu lama, kini mereka sudah berada di dalam mobil.
"Dimana, Shan?" Tanya Jeje begitu ia menstarter mobilnya. "Club *** pusat kota" jawab Shania memperhatikan tanda dari keberadaan Ve. Jeje mengangguk mengerti.
