[7] Like There is No Way Out

21.1K 1.9K 219
                                    

ESOK harinya, Aluna terlambat datang ke sekolah. Bukan karena bangun terlambat, bukan juga karena malas, melainkan karena dia tidak benar melakukan prediksi waktu yang semestinya. Jika kemarin bisa dikatakan kebetulan, kali ini Aluna menyesal karena sudah mengulur-ulur waktu selama menunggu angkutan umum di halte.

Kini dia harus menatap nanar pintu gerbang sekolah yang tertutup rapat. Dia terlambat lima menit dan satpam sekolah tidak mau menolerir keterlambatannya bersama beberapa murid yang juga berdiri di dekatnya. Sampai Bu Yeni sang guru BK turun tangan dan memberi apel pagi, memaksa Aluna juga lainnya berjemur di bawah matahari yang mulai terik 15 menit lamanya.

Belum selesai sampai di situ, dia juga harus menghadapi guru pelajaran pertamanya hari ini. Guru Matematika—Bu Liona—biasanya akan menolak muridnya yang terlambat masuk kelas sampai jam pelajarannya berakhir. Kalau sedang dalam mood baik, beliau akan memersilahkan masuk 10 menit sebelum jamnya berakhir. Agak tidak berguna memang, karena Bu Liona pasti sudah menyelesaikan materinya dan beralih menceramahi muridnya tersebut.

"Sayang sekali, Aluna, kamu harus tunggu di luar sampai bel pergantian jam. Kamu bisa menerima?"

Benar, bukan?

Mau tidak mau Aluna mengiyakan, daripada berdiri di depan kelas dan menjadi tontonan teman-temannya, lebih baik dia menunggu di luar seorang diri. Dia sempat melirik Sarah yang menatap cemas dirinya, namun Aluna mengabaikan dan segera keluar.

Wajahnya sudah berpeluh sampai harus mengikat rambutnya yang sedari tadi tergerai. Lalu berjongkok demi menelungkup di atas dua lututnya dan merenung. Setidaknya dia bersyukur karena tidak ditagih alasan mengapa datang terlambat. Mungkin karena anak SMA sudah semestinya introspeksi diri apapun itu alasannya. Apalagi dia sudah kelas 12, sudah seharusnya menyadari kesalahan sendiri dan mau menerima resiko.

Hanya karena ingin menghindari lelaki itu, Aluna rela berencana konyol yang merugikan diri sendiri. Aluna terlalu terpaku dengan ancaman lelaki itu kemarin dan melupakan bahwa dia masih harus menghadapi waktu panjang berikutnya di mana kesempatan itu masih ada. Seharusnya dia tidak membuang waktu di awal seperti ini.

Dan sekarang, di waktu tenang seperti ini Aluna harus tertegun lantaran ada yang menepuk lembut kepalanya lalu hampir terjungkal melihat lelaki itu sudah berdiri tepat di hadapannya. Mengulurkan sapu tangan padanya.

"E-elo ngapain?" Aluna masih sadar untuk tidak memekik yang berakibat fatal di koridor ini, namun wajahnya semakin pias karena mendapati Ken Alvino sudah ikut berjongkok di hadapannya, menambah beban paru-parunya yang belum stabil memasok udara.

"Menurut kamu ngapain?" suaranya rendah sekali, seolah sudah diatur hanya Aluna yang boleh mendengar hingga gadis itu kelabakan sendiri.

Aluna menarik kaki-kakinya untuk mundur meski harus kesusahan, lalu berhenti kala dirasa ransel merah mudanya bertemu dengan dinding kelasnya sendiri. Kelakuannya justru membuatnya kesulitan bernapas sebab lelaki itu malah tersenyum.

"Nggak usah ketawa!"

"Aku baru tau kalau senyum itu bagian dari ketawa."

Aluna mendengus. Tahu benar lelaki itu sedang berpura-pura bodoh untuknya. Sebelum sewotnya semakin menjadi, Ken Alvino sudah lebih dulu menyentuh sebelah pipinya dengan sapu tangan.

"Lap sendiri atau aku yang lapin?"

Tawaran yang menggiurkan. Tapi Aluna masih sadar diri hingga merebutnya untuk dilakukan sendiri. Walaupun harus sempat bertemu dengan kulit tangan lelaki itu, seperti ada sengatan kecil merambat hingga ke sekujur tubuh.

"Lo telat juga? Gue cukup kaget siswa jenius kayak lo bisa telat juga," ini diucapkan hanya untuk menyembunyikan kegugupannya.

"Aku nggak telat, cuma lagi free."

My Genius Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang