PELUIT berbunyi menandakan jeda sejenak diambil oleh tim Prima Charta. Desas-desus beberapa penonton menunjukkan secara gamblang bahwa perhatian mereka tertuju pada sosok yang digiring melipir ke bangku pemain oleh para rekannya.
Tanpa terkecuali, Aluna juga was-was melihat Ken Alvino tampak tengah menahan sakit di tangan kanannya yang dalam pemeriksaan oleh pelatih tim. Dilihat dari ekspresi sang pelatih, sepertinya luka yang dihasilkan dari tabrakan keras tadi bukan hal sepele.
"Kayaknya lumayan tuh sakitnya. Kalo begitu bisa-bisa si Ken nggak boleh main lagi." Samuel berkomentar.
"Dari awal babak ini gue udah curiga, tim Depenta terlalu keliatan ngincer Ken. Tuh cowok udah ngebantai mereka pake three point sih, mereka bisa aja sengaja ngorbanin satu pemainnya biar Ken nggak ikutan lagi," jabar Sarah bernada sebal.
Aluna mendengarnya. Itulah mengapa kini ia menggigit ibu jarinya diam-diam. Matanya tak pernah beralih dari Ken yang nampaknya tengah berargumen dengan pelatih juga kapten timnya, Dilan. Hingga kemudian sang pelatih mengeluarkan sesuatu dan menyemprotkannya ke sepanjang tangan lelaki itu.
Riuh penonton kembali terdengar bertepatan kala lelaki itu berdiri untuk masuk ke dalam lapangan bersama lainnya. Sudah jelas bahwa Ken memilih untuk tetap bermain, lelaki itu bahkan sudah berdiri di garis penalti untuk melaksanakan lemparan bebas.
"Apa nggak masalah dia tetep main?" Aluna tidak bisa menahan pertanyaan ini. Melihat reaksi di wajah Sarah maupun Samuel membuat Aluna mengernyit bingung.
"Kayaknya sih nggak apa-apa. Toh dia bisa main pake tangan kiri."
Mendengar jawaban Samuel melarikan mata Aluna kembali ke lapangan. Melihat Ken tengah men-dribble bola basket tersebut dengan tangan kirinya tanpa ada kesulitan. Lalu melemparnya dengan mudah sesuai aba-aba peluit wasit dan berhasil. Begitu pula dengan lemparan bebas kedua, menambahkan skor satu lagi untuk timnya sebelum permainan kembali dimulai.
"Kok bisa?" Aluna tak bisa beralih dari Ken yang sudah berlari mengejar tim lawan yang tengah menggiring bola. "Gimana dia bisa lakuin itu?"
"Lo nggak tau? Ken itu 'kan kidal."
"APA?!" kini Aluna berhasil menggerakkan kepalanya, beralih pada Sarah yang baru saja menjawab demikian. "Kidal? Sejak kapan?"
"Sejak lahir lah!" mata Sarah berotasi sejenak. "Tapi karena dia sering ngelatih tangan kanannya jadi sekarang bisa make dua-duanya. Istilahnya itu apa, ya? Ambi ... ambide ... apaan ya?"
"Ambidextrous," sahut Samuel. "Kemampuan dalam menggunakan tangan kanan dan kiri secara imbang. Kayak profesor killer di film Three Idiots itu, 'kan?"
"Nah itu namanya!" Sarah menjentikkan jari antusias. "Kebanyakan pengidap itu mantan kidal sebelumnya. Kayak Albert Einstein, dia itu kidal yang jadi Ambidextrous. Populasinya satu banding seribu, Na. Dan Ken salah satunya."
"Pantesan pinter nggak ketulungan. Titisan si jenius Einstein kayaknya si Ken," kelakar Samuel dengan raut takjubnya. "Berarti yang nabrak tadi salah kaprah ngira Ken nggak bakal bisa main."
"Karena Ken udah terbiasa dan sering make tangan kanan, nggak ada yang tau kalo dia pernah kidal." Sarah bersedekap bangga. "Abang gue emang keren, 'kan?"
"Giliran yang begini baru ngakuin dia abang lo," cibir Aluna.
Dentum demi dentum bola yang begitu cepat kembali menarik perhatian. Dilan dengan gesitnya menggiring bola menuju area lawan. Melakukan ancang-ancang yang ternyata sebatas kecohan karena dalam kedipan mata dia berbalik dan bola sudah teroper pada Ken yang menyusul di belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Genius Secret Admirer
Teen Fiction[C O M P L E T E D] [TERBIT;INDIE] Aluna tidak pernah berharap bahwa dirinya akan memiliki seorang penggemar rahasia. Kedatangannya yang tidak terduga ternyata mampu menarik perhatian Aluna untuk mencari wujud si pelaku, memicu debaran jantung yang...