20

2.3K 166 9
                                    

Jam pun berjalan begitu cepat. Kak Ayu yang tidak betah ada di rumah sakit memilih untuk langsung pulang ke rumah.

Kali ini suasana rumah dipenuhi dengan rasa gembira dan senang kedatangan anggota baru. Namun, kak Pras terlihat sedih dan sedikit cemberut karena selalu tidak diberi jatah untuk menggendong keponaannya sendiri. Di sisi lain, ia juga merasa takut menggendong bayi yang beberapa jam lalu dilahirkan.

Sore itu aku langsung bersiap-siap untuk kembali ke Cepu. Kini, aku diantar kak Pras menuju stasiun. Namun sebelumnya kami pergi ke suatu tempat makan terkenal di Surabaya.

Kami sama-sama menikmati enaknya makanan khas Surabaya ini. Setelah itu, kami langsung menuju stasiun diantar oleh pak supir taksi.

"Za, kali ini aku yang mengantarmu", katanya sambil tersenyum.

"Baiklah, kak Pras kenal kak Ridwan dari mana?", tanyaku.

"Dari Tyo", kata kak Pras dilanjutkan bercerita sejak mereka bertemu dan saling tidak kenal.

"Oh ya, apakah kamu lupa sesuatu?",

"Enggak, udah aku cek semua tadi", ucapku sambil melihat jam kedatangan kereta. Kereta akan datang 10 menit lagi.

Kak Pras langsung menyodorkan satu kotak yang tak asing bagiku. Kotak itu tidak asing bagiku, warna biru laut bersimbol jangkar AL yang tadi pagi kulihat di kamar setelah sholat subuh.

"Ini bukan punyaku", ucapku mengembalikan padanya.

"Ini memang bukan punyamu, tapi untukmu, ambilah", jawab kak Pras mengembalikan padaku.

"Makasih", ucapku.

Suara rel kereta api yang kurasa sudah datang memecahkan keheningan kami. Kali ini akulah yang pamit untuk kembali. Aku langsung menuju gerbong tempat duduk yang sudah aku pesan. Kak Pras masih berdiri dengan seragamnya yang tegap dan melihat kearah kaca tempat dudukku.

Kedua kalinya aku melihat ke arah luar. Terlukiskan senyuman indah di wajahnya, ia pamit melalui pesan whatsapp. Aku hanya menganggukkan kepala dan membalas senyumannya, ia langsung berbalik arah menjauhi gerbong kereta dan sedikit demi sedikit langkahnya terlihat semakin jauh dan akhirnya sudah hilang dari stasiun ini. Jam sudah menunjuk pukul 17.00, aku teringat kenapa kak Pras tadi pulang karena ia sudah akan masuk ke resimen lagi.

Namun, kami tetap saling berkomunikasi walaupun dalam perjalanan saling kembali ke tempat pendidikan kami masing-masing. Mama kak Pras masih memantauku bahwa aku masih dalam perjalanan. Perjalanan ke cepu hanya sekitar dua jam lebih sedikit. Tidak ada rasa lelah yang aku rasakan apalagi setelah kelahiran anak kak Ayu dan kak Bram.

Sesampainya di asrama aku langsung membersihkan diri lagi, melaksanakan sholat, dan kembali mengerjakan tugasku. Dan hari-hari itu aku jalani seperti biasa. Mengerjakan tugas dan lainnya. Memang sedikit susah untuk masuk Sekolah Akamigas Cepu ini, namun juga tak mudah untuk lulus dari sekolah ini kecuali kita sendiri yang memiliki tekad dan semangat serta kerja keras yang diimbangi dengan doa. Awalnya aku merasa bahwa masuk ke Akamigas adalah pilihan terakhirku daripada aku harus berhenti sekolah satu tahun. Saat itu aku sedih sekali, ketika aku dinyatakan tidak diterima menjadi taruni padahal itu sudah tahap pantukhir (pemantauan terakhir). Tapi aku memiliki semangat untuk bangkit dan akhirnya aku keterima di Akamigas. Berbeda dengan Naura yang masa depannya sudah tertata, ia diterima di fakultas kesehatan masyarakat dan langsung diterima dari jalur snmptn. Sebenarnya aku masuk daftar siswa yang diterima di snmptn namun aku waktu itu lebih memilih untuk fokus menjadi taruni. Namun, bagaimana lagi? Takdir sudah menentukan jalan kita masing-masing.

Waktu begitu cepat berlalu, hingga tak terasa aku kembali lagi ke Salatiga lagi untuk berlibur Ramadhan. Dan lebih terfokuskan untuk menyelesaikan tugasku dahulu untuk liburan ini. Banyak undangan yang sudah datang mengajak untuk buka bersama, baik teman SD, SMP, maupun SMA. Maklum, sudah lama kami tidak reunian. Kak Rafly yang terus menelfonku dan menanyaiku sampai dimana, padahal aku masih dalam gerbong kereta. Dan beberapa jam kemudian memberitahukan bahwa kereta sudah sampai di stasiun Purwosari. Aku cepat-cepat mengambil ponselku. Satu-persatu orang keluar dari gerbong dengan berbondong-bondong membawa barang bawaannya. Aku memilih untuk mengalah dan duduk beberapa menit menunggu gerbong kembali sepi. Aku langsung menuju keluar gerbong, terlihat sosok yang masih menggunakan pakaian PDH pesiarnya, dengan topi di lengan kanannya langsung berjalan mendekatiku. Ia langsung membawakan barang bawaanku, meskipun sepertinya berat menurutku.

You Are My Destiny!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang