Author's Note: Seperti sebelumnya, tiap chapter akan dibagi 2 part untuk kenyamanan baca di web. Disarankan untuk membaca 2 bagian agar pengalaman bacanya maksimal (karena tiap chapter memang disusun sepanjang itu seharusnya.)
Prev Chap: Satsu Otomu, seorang remaja laki-laki asal Jepang, masuk ke dunia asing setelah tubuhnya dimodifikasi menjadi Shadow. Ini semua tidak seperti yang dibayangkannya, dan ia harus mencari jalan keluar dari dunia baru itu.
EDITED NOTE: Ini adalah tanda bahwa Chapter sudah berubah dari yang sebelumnya. 1.1 cuma kode. Kalo nanti ada 2.1, berarti perubahan besar. Kl 1.2, berarti perubahan kecil. Gak usah terlalu diinget, karena Edit ya edit aja :'D
******
Leonore memaksa senyum ketika dia berjalan melewati kerumunan. Penduduk yang dilewatinya menyapa ramah, jadi dia harus mengembalikannya dengan keramahan juga. Sementara itu, hatinya gundah. Kenapa Tuan Putri sering sekali hilang?!
Mata biru Leonore menelisik toko-toko di sisi jalan. Jubah kelabu bertudung milik Putri Ester memang tidak mencolok. Luasnya jalan utama kota Loka juga sama sekali tak mempermudah pencarian. Sudah dua stan dilewatinya, tetapi Putri Ester masih belum kelihatan. Tentunya Leonore juga bertanya kepada beberapa orang. Sebagian besar gadis terlihat malu-malu dan senang ditanyainya, itu hal biasa.
"Sepertinya aku sempat melihat Tuan Putri di stan roti isi," jawab salah seorang gadis sambil menunjuk satu stan di depannya.
Akhirnya!
"Terima kasih." Leonore mengangguk.
"Berkat Eoden menemani Tuan."
"Dan menemanimu juga."
Ketika berlari, angin musim dingin menggoyangkan beberapa helai rambut Leonore yang keemasan. Harumnya buah-buahan, daging dan roti panggang, juga sup kepiting jamur khas Loka ikut terbawa, menyusup masuk ke hidung pemuda itu. Untungnya kota Loka—sudah sepatutnya sebagai ibukota Exolia—selalu ramai. Bunyi perut keroncongannya tersembunyi di antara tapak, obrolan, dan teriakan undangan para pedagang untuk ke toko mereka.
Tak lama, dia sampai pada stan yang dimaksud gadis tadi.
Berbagai roti terpajang di atas meja dalam susunan kotak-kotak kayu yang rapi. Kain putih yang menutupi atap stan membuat penjual dan pelanggan sama-sama tak terkena matahari. Sosok gadis berambut pirang dengan jubah kelabu berdiri di antara dua pelanggan lain. Leonore mendesah ketika dia mengenali wajah samping Putri Ester yang sedang berseri-seri memilih roti.
Pemuda itu mendekat. Pelanggan lain memberinya ruang ketika dia mengucap permisi. "Tuan Putri," bisiknya, "bukankah sudah kukatakan untuk tidak bepergian sendirian?"
Putri Ester melengkungkan bibir kecilnya tanpa menoleh. "Aku tidak pergi sejauh itu, Leon. Tak perlu berlebihan." Suara itu setenang dan selembut sorot matanya.
Setelah selesai melirik-lirik jejeran roti, Putri Ester menunjuk kumpulan roti bulat yang agak jauh darinya. "Satu roti kacangnya, Pak."
Si penjual tersenyum dan mengambilkan roti itu. Tangannya yang bersarung tampak bersih, kecuali oleh remah roti. Dia menyodorkannya ke Putri Ester. "Silakan, Tuan Putri."
"Terima kasih." Putri Ester mengambilnya.
Begitu sang putri berbalik dan meninggalkan tempat itu, Leonore membuka mulut, tetapi dia batal bicara. Dia segera mengeluarkan tiga keping uang perak dari kantong kulit kecil yang tergantung di ikat pinggangnya. Diberikannya uang itu kepada si penjual.
"Terima kasih, Tuan."
"Berkat Eoden menemani Anda."
"Dan Tuan juga."
Tanpa buang waktu, Leonore melangkah cepat ke samping Putri Ester. "Tuan Putri, aku tahu Anda sangat suka berkeliling, tapi jangan terlalu jauh berpisah dariku. Tolong."
Putri Ester hampir saja tersedak. Dia menutupi mulutnya dengan jari-jemari lentik, mengunyah roti, lalu menelannya.
"Itu karena kau sering tidak fokus, Leon."
Bibir Leonore membentuk garis lurus. "Itu bukan alasan, Tuan Putri."
"Kalau memang tak ingin aku pergi jauh-jauh, ada satu cara yang sangat manjur."
Putri Ester berhenti. Dia menoleh dan mengangkat dagu sedikit. Dengan tangan kiri masih memegang roti, tangan kanannya terulur.
Giliran Leonore yang hampir saja tersedak, oleh ludahnya sendiri. Dia tertawa. "Apa Anda serius? Aku tahu Anda tidak pernah mau melakukannya di depan orang banyak."
Alis sang putri mengernyit, mendapati Leonore memandangnya remeh. "Aku akan segera berumur 17 tahun, Leon. Tidak selamanya aku bertingkah seperti anak kecil begitu."
Leonore tertegun sesaat, sebelum tersenyum. Dia mengambil tangan itu dan sedikit membungkuk. Kumpulan jari mungil Putri Ester diangkatnya perlahan. Leonore mengusap punggung tangan sang putri dengan ibu jari, merasakan kelembutan dan kehangatan sentuhan yang terjadi. Dia lalu memberi kecupan lembut pada punggung tangan itu sambil menatap wajah Putri Ester lekat-lekat.
"Maaf, Tuan Putri. Tentu sa—"
Belum sempat kata-kata itu habis, Putri Ester menarik tangannya cepat-cepat. Sang putri menunduk. Dia memainkan rambut pirangnya yang bergelombang, berusaha menutupi wajahnya, lalu berjalan lagi.
Leonore mengamati dengan senyum lebar. Wajah sang putri telah memerah semenjak tangan mereka bersentuhan. Percuma menyembunyikannya sekarang dari Leonore. Dia menyamai langkah sang putri sambil melipat tangan di belakang punggung. "Sudah kukatakan, kalau tidak berani, tidak usah memaksakannya."
Meski hanya berbisik, Putri Ester semakin tersipu. "Bukannya tidak berani. Kau yang melakukan hal memalukan seperti itu, padahal aku cuma ingin berpegangan tangan."
"Oh? Maaf kalau begitu. Aku akan melakukannya dengan benar kali ini."
Dengusan kecil terdengar ketika Putri Ester membuang muka. "Tidak mau. Kau pasti akan mempermainkanku lagi."
Leonore hanya tertawa menanggapi.
Putri Ester melirik kesal. "Rasanya kita tidak perlu ke kedai kepiting lagi."
"Hah?" Leonore berhenti tertawa. Dia memegangi perut. "Anda tahu aku belum makan, 'kan?"
"Tentu saja." Tawa kecil keluar dari mulut Putri Ester. Kala dirinya mendapati Leonore menunduk murung, Putri Ester menyambar tangan pemuda itu.
Leonore tertegun. Tangan mungil Putri Ester menyentuh lembut telapak dan punggung tangan besar Leonore, tak mampu memegang semuanya.
"Ayolah, Leon. Aku cuma bercanda."
Leonore membalas pegangan itu, menggenggam tangan Putri Ester erat-erat. "Ya, ya. Aku tahu."
Putri Ester memakan lagi roti kacang yang masih tersisa. Itu adalah peralihan dari rasa malunya.
Namun, dia tak pernah berhenti tersenyum. Hatinya tak bisa berhenti berbunga-bunga.
Pandangan orang-orang sesekali tertuju ke pasangan itu, mengamati dua orang yang patut mereka hormati lewat di depan mereka dengan wajah bahagia. Tak ada yang tidak menginginkannya. Beberapa memberi salam.
"Berkat Eoden menemani Tuan Putri dan Tuan Leonore."
Leonore dan Putri Ester pun menunduk, merasa terhormat dengan doa dari para penduduk, kemudian membalas dengan doa yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]
Fantasy[Fantasy - Romance - Adventure - Action] - Highest Rank #62 on June 22nd 2017. 17+ Warning, karena ada violence. - Exolia (Trace of A Shadow #1) - COMPLETED - Onogoro (Trace of A Shadow #2) - ONGOING - Savior (Trace of A Shadow #3) - Februari...