Akhir dari Bencana (Part I)

567 98 16
                                    

Author's Note: Huft. Kadang author suka mikir, kayaknya belum melakukan yang terbaik, apalagi di chapter ini ada yang kayak masih nge-stuck, tapi sepertinya beberapa hal sudah cukup tersampaikan, mungkin? :') Terima kasih lagi untuk kesekian kalinya telah mengikuti Trace. Karena gambar sudah cukup habis, malah ganti video nih sekarang. Sambil dengerin lagunya aja ye~ Kali2 ganti pola. Wkwkwk. Oya, tetap 2 part seperti biasa XD

Prev Chap: Setelah Lumeprodia lenyap, kekacauan terjadi di kota Loka. Droxa mulai masuk. Leonore harus memulihkan Lumeprodia kota untuk menyelesaikan masalah, sementara Putri Hilderose bergegas menuju istana, tempat yang lebih aman. Ketika para Droxa mulai mengancam nyawa Putri Hilderose, seorang pemuda berambut hitam menolong sang putri.

******

Satsu tak pernah bermimpi untuk menjadi pahlawan, apalagi setelah dia dulu ditindas karenanya. Namun, sekarang dia menghabisi para Droxa satu per satu di jalan utama kota Loka dan menyelamatkan banyak orang. Ucapan "berkat Eoden" dan "keajaiban Eoden" lebih menusuk telinganya ketimbang "terima kasih". Dia benci tindakannya dianggap mewakili tuhan orang-orang itu.

Geram putus-putus mengiringi lenyapnya Droxa di ujung pedang hitam. Satsu menarik tangan. Pedang itu tercabut dari tanah dengan sedikit entakan. Pandangan Satsu lalu mengedar ke sekeliling.

Teriakan menggema di kejauhan, tempat yang sudah tak terjangkau pemuda itu. Beberapa orang sempat terlihat berlarian melewati ujung gang. Arah mereka sama: istana. Sebagian burung Droxa bertengger di atap-atap rumah dua tingkat, sebagian lain masih mengerubuti mangsa. Bau amis semakin menyengat. Satsu mengepalkan tangan.

Jerit kecil menyentak Satsu. Dia berbalik, mendapati gadis bergaun biru yang duduk meringis memegangi kakinya. Tangan dan kaki gadis itu penuh darah. Mata Satsu menyipit, sebelum dia berjalan mendekat.

Putri Hilderose masih memejamkan mata ketika geram Droxa terdengar di sisinya. Dia terkesiap, lalu sontak menoleh. Gemetarnya kembali kala moncong makhluk itu mulai keluar dari permukaan tanah.

Sebilah pedang hitam menusuk Droxa itu. Putri Hilderose berkedip satu kali. Matanya lalu membulat. Pedang itu sama hitamnya dengan para Droxa, terutama dengan asap menari-nari pendek di setiap sisinya. Dengan satu dorongan, mulut Droxa terbelah hingga ke puncak kepala. Bola mata sang putri mengikuti gerakan itu, termasuk ketika pedang memendek, menuju ke tangan Satsu, hingga pecah menjadi asap.

Semuanya persis Droxa.

Putri Hilderose hanya bisa menganga, sementara si pemuda jongkok di depannya.

"Ah," Putri Hilderose menjerit lagi saat merasakan kakinya disentuh. Pandangannya bertemu dengan Satsu untuk sesaat, sebelum pemuda itu menunduk mengamati lukanya lagi. "Maaf," gumam sang putri.

Satsu kembali menatap Putri Hilderose. Maaf? Untuk apa?

Menyadari kata-kata yang membuat lawan bicaranya menelengkan kepala, Putri Hilderose menambahkan, "Telah merepotkanmu ... maksudku. Kupikir kau ingin menolong orang-orang kota."

Satsu mendesah, sebelum kembali mengalihkan perhatian ke kaki sang putri.

Darah sudah membanjiri sobekannya hingga daging pun hampir tak terlihat. Alis Satsu mengernyit. Luka itu cukup dalam, sementara Satsu tak punya kain bersih untuk membalutnya. Bagaimana jika malah terinfeksi?

"Aku tidak apa-apa." Tangan Putri Hilderose menekan permukaan tanah. Dia berusaha bangkit. Kaki kirinya berhasil menjejak, tapi dia kembali mengaduh saat kaki kanannya memijak. Keseimbangannya langsung hilang.

Satsu sontak memegang pinggang dan lengan sang putri, menahannya terjatuh. Gadis itu pun berpegangan pada pundak Satsu. Satsu membulatkan mata.

Mereka terlalu dekat.

Napas yang memburu dan rintihan sang putri terdengar begitu dekat. Tubuh mereka juga hampir sepenuhnya bersentuhan. Namun, sang putri malah menggenggam bahu dan lengan Satsu semakin erat, membuat mereka semakin menempel. Gemetarnya pun ikut tersampaikan. Sakit, takut, dan bingung yang bercampur aduk, mungkin.

Satsu mendesah paham. Pemuda itu mengembalikan ketenangan perlahan. Setidaknya, ada tempat lebih aman yang harus mereka tuju. Satsu menatap tajam pada bangunan tinggi di ujung jalan: istana.

Segaris sinar naik dari belakang menara ke atas langit.

Satsu dapat mendengar orang-orang menarik napas. Beberapa sorakan terdengar. "Itu kesatria Lumia!" kata salah satu penduduk. Satsu mengembalikan fokus ke jalan di depannya.

Ketukan-ketukan zirah yang menjejak tanah kini bercampur dengan suara-suara lain. Beberapa kesatria dan orang-orang bertudung terlihat berjalan mendekat.

Kesatria Luce berjalan tegap di depan yang lain. Matanya menatap tajam dari balik poni pirang yang cukup panjang. Pria berumur tiga puluhan dan sedikit jenggotan itu mengulurkan tangan sambil memberi komando agar yang lain menyebar. Beberapa kesatria memasuki gang, kiri maupun kanan. Masing-masing grup diikuti satu orang berkerudung putih.

Kesatria Luce mudah menemukan Satsu yang tengah terdiam di antara orang-orang yang berlarian. Dia berjalan mendekat, sementara kesatria-kesatria lain menghabisi Droxa satu demi satu.

Semakin dekat, mata pria itu menyipit pada warna rambut si pemuda dan gadis yang dipegangnya. Dia ingat putri dari Tuan Meyr. "Tuan Putri Hilderose Meyr?" Suaranya sedikit serak.

Putri Hilderose membuka mata yang sempat terpejam. Dia menoleh. Mendapati sosok seorang kesatria Lumia membuatnya menghela napas lega. "Apa Anda Kesatria Orphea?"

Pria itu menaikkan alis. "Bukan. Nona Orphea saat ini masih di menara selatan."

Putri Hilderose sempat menggigit bibir karena salah mengira jenis kelamin orang yang dicarinya. "Oh. Apakah semua baik-baik saja?"

Anggukan mengiringi jawaban Kesatria Luce. "Tuan Meyr juga sudah berada di istana bersama Yang Mulia Raja dan Tuan Putri Ester. Mereka mengkhawatirkan Anda. Mari ikut saya." Dia mengulurkan tangan.

Putri Hilderose sempat ragu, tapi segera mengambil tangan itu. Cengkeraman berbalut sarung tangan kulit terasa lebih dingin di lengan sang putri.

"Ah, hei!" panggil Kesatria Luce. Tatapan itu tertuju ke belakang sang putri.

Putri Hilderose menoleh. Dilihatnya Satsu telah berlari pergi. "Tunggu!" panggil sang putri.

Namun, Satsu tetap lenyap ke balik salah satu gang.

"Pemuda yang aneh," gumam Kesatria Luce. Sang kesatria memanggil salah satu bawahannya untuk mengikuti Satsu. Sayang, dia kembali tanpa hasil. Kesatria Luce berdecak sebelum menggumam sepenggal mantra yang cukup panjang, diakhiri, "Lumeprodia."

Kubah cahaya kecil menyelimuti dirinya dan Putri Hilderose. Sang putri terperangah. "Ini ... Lumeprodia. Apa kau tidak bisa menggunakannya untuk orang-orang kota?"

Kesatria Luce mengembuskan napas berat. "Apa Anda tahu kenapa kita bisa menciptakan kubah Lumeprodia sebesar kota?"

Putri Hilderose tak menjawab. Lebih tepatnya, dia heran dengan pertanyaan balik itu.

Kesatria Luce mengangkat tubuh sang putri dan menggendongnya di depan. Dia mengabaikan sang putri yang menjerit kecil. "Karena kita cuma harus menggunakannya satu kali, Tuan Putri."

Dari bawah Wilayah Bayangan, Satsu mengamati siluet Putri Hilderose yang digendong menjauh. Pemuda itu menggaruk-garuk kepala sambil memalingkan wajah. Bukankah bagus ada yang menyelamatkan gadis itu jadi dia tak perlu repot? Satsu menurunkan bahu lemas sebelum menendang kehampaan menuju istana.

Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang