Yang Terpenting Bagi Mereka (Part II)

979 130 37
                                    

"Ehem!"

Deham serak mengejutkan kedua pasangan. Leonore segera melepas tangan dan menoleh. "Tuan Meyr." Tawanya canggung. Ia bahkan tak bisa menatap langsung pria itu.

Mata Tuan Meyr menyipit, mengamati Leonore dan Putri Ester secara bergantian. "Aku tidak tahu kalau hubungan kalian sudah sejauh itu."

Leonore mengusap-usap belakang kepala sambil menunduk. "Itu—"

"Tuan Leonore."

Si pemuda kembali terfokus pada Tuan Meyr.

"Sebagai seorang Kesatria Lumia terkuat, tentu kau ingat tugasmu?"

"Ng ... tentu saja. Melindungi Tuan Putri Ester, bukan?"

Tuan Meyr mengembuskan napas panjang. Ketika ia berjalan, spontan Leonore mundur dan memberi ruang, membiarkan Tuan Meyr dan Putri Hilderose melewatinya.

Tanpa berhenti maupun menoleh, Tuan Meyr menjawab santai, "Kau lupa bagian 'kerajaan Exolia'-nya, Tuan Leonore."

Leonore menoleh perlahan ke Putri Ester. Bibir pemuda itu membentuk garis lurus, alisnya juga terangkat.

Putri Ester menaikkan bahu, lalu berjalan terlebih dahulu menyusul Tuan Meyr dan Putri Hilderose.

Di dalam hati, Putri Ester sebenarnya sudah mengira akan ada yang tidak suka melihat hubungannya dengan Leonore. Kerajaan Exolia mungkin tidak memiliki peraturan yang terlalu ketat. Status Leonore saat ini juga membuat orang-orang menghormatinya. Tak mungkin para pelayan dan bawahan Leonore menggunjing.

Namun, standar tetap ada.

Tingkat penilaian terhadap seseorang—sampah, buruk, baik, sempurna—tetap ada, dan yang menetapkannya secara tak sadar malah biasanya para petinggi.

Putri Ester memerhatikan punggung Tuan Meyr dan Putri Hilderose. Semenjak dulu, keluarga Meyr berada di posisi terendah dalam empat keluarga bangsawan. Satu-satunya alasan yang paling mencolok adalah warna rambut dan mata mereka yang berbeda dari penduduk Exolia kebanyakan. Karena itulah, wajar jika keluarga Meyr memedulikan pandangan sekitar saat bersikap.

"Terima kasih, Paman Lucian." Entah mengapa, Putri Ester mengucapkannya ketika tepat berada di belakang pria itu.

Tuan Meyr terkekeh. "Untuk apa, Tuan Putri?"

"Untuk nasihat Paman tadi. Aku tahu, aku memang harus lebih bisa membawa diri."

Tak ada jawaban selama beberapa langkah. Sepasang pelayan wanita bergaun kumuh lewat di koridor depan. Ada juga pelayan pria yang berbelok ke arah empat orang itu. Ia membawa beberapa lembar pakaian kotor. Si pelayan menunduk saat melalui mereka.

Tepat setelah berbelok ke koridor kiri, Tuan Meyr tiba-tiba bicara lagi, "Menurut Tuan Putri, apa hal terpenting yang harus diperhatikan oleh seorang pemimpin?"

Putri Ester tertegun sesaat, tapi ia segera tersenyum. "Tentu saja rakyat." Membayangkan kehangatan para penduduk Exolia menyalakan semangatnya. Anak-anak kota dan desa yang ia kunjungi juga selalu senang mendengarkan nyanyian sang putri. Semua pekerja di seluruh Exolia berseri-seri menyambut kedatangannya.

Putri Ester mencintai kerajaan itu, meski dengan segala kekurangannya.

"Anda salah, Tuan Putri." Tuan Meyr tertawa pendek. "Mungkin Anda perlu belajar hal ini, bahwa seringkali, masa depan kerajaan lebih penting daripada orang-orang di dalamnya."

Alis Putri Ester mengernyit. "Bukankah itu sama saja?"

"Oh, tentu saja berbeda. Suatu saat nanti, Anda akan mengerti." Tuan Meyr mendesah panjang.

Ketukan empat pasang sepatu dan tongkat Tuan Meyr mengisi keheningan. Tak ada yang bicara. Sesekali, tawa dan suara obrolan dari lorong yang berlawanan, ikut meramaikan. Kecanggungan terus berlanjut hingga akhir koridor barat mulai terlihat.

Dua penjaga berdiri di kedua sisi pintu kayu. Itu adalah ruang tamu istana. Keempat orang itu berhenti tepat di depannya. Penjaga di sebelah kanan menarik gagang hitam dan membuka pintu.

Melihat Putri Ester termenung, Leonore mengambil inisiatif. Ia menyuruh penjaga yang satu lagi untuk memanggil raja. Keheningan masih sempat mengisi bahkan setelah penjaga itu berlari pergi. Perlu beberapa detik bagi Leonore untuk mempersilakan Tuan Meyr masuk. Putri Ester dan Putri Hilderose mengikuti, sebelum Leonore berada di urutan terakhir.

Meja panjang serta beberapa kursi mengisi bagian tengah ruangan. Anggur hijau dan beberapa apel terletak di atas dua mangkuk perak besar pada meja. Tak lama, penjaga berniat menutup pintu di belakang mereka.

"Ah," Putri Hilderose berbalik, "tunggu!"

Penjaga itu menghentikan gerakan, membiarkan pintu terbuka sedikit.

"Ada apa, Tuan Putri? Anda butuh sesuatu?" tanya Leonore.

Putri Hilderose berjalan mendekati pintu. Setelah melewati Leonore, ia kembali menghadap ketiga orang di depannya. "Sepertinya lebih baik aku keluar."

Dahi Leonore mengerut. Ia melirik Putri Ester dan Tuan Meyr, tapi setelah beberapa detik tak ada tanggapan, Leonore menarik napas. "Kalau begitu, mungkin aku juga harus keluar? Biasanya laporan kota juga antara Yang Mulia Raja dan Tuan Meyr." Leonore mengangguk ke arah Putri Ester.

Putri Ester balas mengangguk. Ia mulai berjalan.

"Tunggu, Tuan Putri, Tuan Leonore!" Suara itu menyentak keduanya berhenti. "Sudah kubilang, yang ingin kusampaikan kepada Yang Mulia Raja hari ini bukanlah laporan kota Rayongarde."

Putri Ester berbalik. "Apa pun itu, bukankah biasanya Paman mendiskusikannya empat mata dengan Ayahanda dulu? Tidak semua urusan kerajaan kutangani, terutama karena umurku baru 16 tahun."

Tuan Meyr tertawa. "Mungkin ini memang urusan kerajaan, tapi ada hubungannya dengan Anda, Tuan Putri. Makanya, Anda sebaiknya di sini."

Melihat Putri Ester memasang ekspresi bingung, Leonore kembali berinisiatif. "Kalau begitu—"

"Anda juga sebaiknya di sini, Tuan Leonore." Tuan Meyr mengangguk ke arah Putri Hilderose.

Sang putri berambut hitam menunduk, memberi salam di tengah kebingungan yang terjadi. Ia tidak memberi kesempatan bagi Leonore ataupun Putri Ester bertanya. Putri Hilderose segera keluar dari ruangan. Pintu menutup di belakangnya.

Kini, hanya tiga orang berada di ruangan itu. Leonore berada paling dekat dengan pintu masuk. Putri Ester berdiri dalam keraguan di depannya. Tuan Meyr menopang tubuh dengan tongkat di dekat barisan kursi.

"Apa aku boleh tahu? Apa yang ingin Paman bicarakan dengan Ayahanda?"

"Yah," Tuan Meyr menunduk, "kurasa Anda berhak tahu soal itu, meskipun nanti kita akan membicarakannya juga ketika Yang Mulia Raja Herberth datang." Pria itu menarik napas dalam-dalam dan menatap Putri Ester. "Kurasa, penting juga untuk Anda bersiap-siap."

"Bersiap-siap?"

"Ya, karena aku tahu Anda dan Tuan Leonore telah berhubungan lama dan ini tidak akan menyenangkan untuk kalian."

"Tunggu." Putri Ester menelan ludah. Firasatnya memburuk seketika. Lebih tepatnya, firasat buruk itu semakin meningkat setelah seharian menumpuk secara stabil di dalam dadanya.

"Aku membawa surat lamaran pernikahan untuk Anda, Tuan Putri."

Tuan Meyr tersenyum.

Hanya dia ... yang tersenyum.

Author's Note: Terima kasih telah membaca. Mudah-mudahan bisa menghibur. Tinggalkan vote dan/atau komen bila kalian suka :3 Btw, kayaknya update ini agak telat, jadi mohon maaf ya. Trace tetap update seminggu sekali seperti biasa kok :) 

Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang