Sementara mereka bertarung semakin menjauh, Leonore masih berusaha menyembuhkan sang raja, hanya saja, usaha terakhirnya bahkan tak bertahan lebih dari satu detik. Tangannya pun sudah sulit diangkat, hingga ketika nyaris jatuh lemas, Raja Herberth harus menangkap dan menggenggamnya agar Leonore mampu mengangkat tangan itu.
Keduanya gemetaran, tapi Raja Herberth masih sempat-sempatnya tertawa. "Kau tidak pernah berubah, Leon, selalu memaksakan diri."
"Aku akan ... menyembuhkanmu." Hanya itu saja yang dari tadi diucapkan Leonore. Sesungguhnya, kesadaran pemuda itu mulai menghilang.
"Kautahu? Aku,"—kata-katanya terputus batuk sejenak—"bangga memiliki kesatria yang setia sepertimu, mengabdi padaku dan juga Ester."
"Aku ... akan—"
"Tidak apa-apa ... Leon. Hiduplah ... dan tolong ... jaga putriku."
"Ayahanda bisa menjagaku kapan saja," Putri Ester menjawab. Dia tersenyum di balik air matanya. Gadis itu berbisik lirih, "Ayahanda lebih kuat dari ini. Bahkan Ayahanda sering tidur tiga jam sehari cuma untuk memikirkan kerajaan, bukan? Ayolah. Bertahanlah dan pasti akan ada yang bisa menyembuhkan Ayahanda. Iya, kan, Leon?"
Leonore hanya menggumamkan kalimat yang sama.
"Mungkin ... Ayah memang perlu tidur."
"Pesta masih berlangsung, Ayah!" Suara sang putri mengeras. "Lihatlah, ruangan masih terang seperti ini. Belum saatnya untuk tidur."
"Ester," panggil Raja Herberth. Kini dia hanya bisa membisikkan, "Maaf."
Senyum Putri Ester hilang seketika. Dia menarik tubuh ayahnya agar bisa memeluknya lebih erat. Tetesan demi tetesan air matanya membasahi wajah sang ayah ketika Putri Ester menunduk. "Ayahanda tahu, kan? Aku tak bisa hidup sendirian."
Raja Herberth tak menjawab.
"Aku ... aku cuma putri tak berguna. Bagaimana dengan kerajaan Exolia kalau Ayahanda tiada?"
Kalimat itu masuk terputus-putus ke telinga Raja Herberth, padahal dia suka mendengar suara putrinya itu. Sangat mirip dengan ibunya.
Dengan sisa-sisa tenaga, Raja Herberth mengangkat tangan kiri. Tahu betapa lemahnya sang raja, Putri Ester membantunya dengan menggenggam tangan itu, menyentuhkannya pada pipi sang putri. Raja Herberth menyunggingkan senyum tipis. Oh, dia pasti akan merindukan sentuhan itu, juga wajah putrinya yang kian memudar seiring kegelapan makin menguasai dunianya.
"Maaf ... Ester. Ini semua terjadi karena keegoisan Ayah. Tidak seharusnya ... kau yang menanggung hukuman ini."
Putri Ester menggeleng. "Aku yang seharusnya minta maaf. Kalau saja aku memenuhi pernikahan itu ... seperti kata Ayahanda." Menyesalinya pun percuma, tapi hanya itu yang bisa dilakukan sang putri.
Napas Raja Herberth semakin sesak, hingga setiap tarikannya bisa terdengar. Kedinginan semakin merasuk hingga ke tulang. Indera perasanya semakin aneh. Dia tahu.
Ajal akan segera menjemput.
"Ester ... bisakah kau ... mendengarkan permohonan terakhir ... Ayah?"
"Jangan tinggalkan aku, Ayahanda. Kumohon."
Raja Herberth memaksakan senyum. Dia tak punya cermin untuk memeriksa ekspresinya sekarang, tapi itulah yang harus ditinggalkannya terakhir untuk putri satu-satunya itu. Senyum selayaknya sebuah cahaya.
Ingatan-ingatan akan Ester, istrinya, persahabatannya dengan Lucian; semua berkelebat di hadapannya. Benar-benar distraksi yang menjengkelkan, karena Raja Herberth masih harus menemani Putri Ester.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]
Fantasy[Fantasy - Romance - Adventure - Action] - Highest Rank #62 on June 22nd 2017. 17+ Warning, karena ada violence. - Exolia (Trace of A Shadow #1) - COMPLETED - Onogoro (Trace of A Shadow #2) - ONGOING - Savior (Trace of A Shadow #3) - Februari...