Setelah menghabiskan waktu di kedai, Leonore dan Putri Ester berjalan melewati jembatan kecil menuju perbatasan kota. Dinding batu tinggi membentang, melingkari seluruh ibukota dan istana di belakangnya. Leonore mendongak ketika bayangan dinding mulai menutupi wajahnya, tetapi bukan hanya itu.
Segaris cahaya horizontal melewati atas kepalanya, mengalir di udara, membentuk sebuah bola cahaya transparan yang membungkus seluruh tempat itu. Garis-garis lain menyusul dalam jeda waktu teratur. Mereka adalah penanda kubah pelindung Lumeprodia, salah satu sihir Lumia tingkat atas. Sihir itu memberi sedikit kehangatan di musim dingin, membuat Leonore memejamkan mata sejenak, merasakan ketenangan.
"Leon," Putri Ester memanggil.
Leonore baru sadar kalau tangannya ditarik. Dia tertawa kecil. "Oh, maaf."
Sang putri menggeleng-geleng. "Kau harus benar-benar memperbaiki fokusmu itu, Leon."
"Mungkin Tuan Putri juga perlu lebih santai."
"Apa katamu?"
"Yah, menikmati cuaca, udara kota," Leonore menarik napas seakan mencium suatu keharuman, lalu dia mengusap-usap tangan sang putri yang menggenggamnya, "menikmati jalan-jalan kita."
Putri Ester memutar matanya sambil tertawa. "Kita sudah di sini dari kecil, Leon, dan kau tahu betapa membosankannya tempat ini." Dia melepaskan tangan Leonore, lalu melangkah melewati tempat keluar-masuk kota.
Di masing-masing sisi dinding perbatasan, penjaga berzirah lengkap menegapkan tubuh ketika melihat Putri Ester sampai. Sang putri menaikkan dagu sedikit. Dedaunan di hutan depan kota saling menyentuh menimbulkan gemerisik. Semakin mendekati batas kubah pelindung Lumeprodia, kehangatan semakin terasa, tetapi kedinginan juga makin menguat.
Geram lirih menggema dalam batin sang putri.
"MaNUUsiiAAA BiadAAAB ...."
Putri Ester bergidik ngeri.
Suara itu bercampur antara laki-laki dan perempuan, tua dan muda, tangis dan marah; membentuk berbagai nada yang menyesakkan siapa pun yang mendengar. Dari antara semak belukar, muncul dua ekor binatang berkaki empat. Ukuran keduanya berbeda, yang satu lebih kecil dari yang lain. Yang kecil bertelinga agak runcing, yang besar bertelinga bulat. Ada satu kesamaan dari kedua hewan itu.
Asap hitam membungkus tubuh, menyebabkan pola apa pun pada kulit mereka tidak tampak.
Mulut mereka membuka-tutup, seakan tengah mengatakan sesuatu. Namun hanya caci-maki yang kembali terdengar.
"Droxa ...." Putri Ester mundur selangkah. Bukan berarti dia tak pernah mendengarnya. Dia hanya tak pernah biasa.
"Tidak perlu takut, Tuan Putri. Anda cukup mendengar suaraku saja." Leonore menggenggam kembali tangan Putri Ester yang gemetaran.
Putri Ester menoleh. Senyum dan tatapan Leonore yang penuh keyakinan membuat sang putri merasa aman. Gadis itu tahu, bukan cuma dirinya yang mendengar geram itu, tetapi juga semua orang di sekitar. Sebagai salah satu orang Exolia, apalagi seorang putri yang nantinya akan memimpin mereka, Putri Ester pun tak boleh gentar. Dia menarik napas kuat-kuat dan memperbaiki postur agar tak terlihat lemah.
Dua Droxa yang mengambil wujud hewan itu melangkah pelan dan terhuyung-huyung, sama sekali tak terasa mengintimidasi. Begitu sampai di depan kubah cahaya, tanpa ragu mereka mengangkat salah satu kaki dan menapak ke kubah cahaya pelindung.
Sedetik lantunan bel terdengar. Cahaya dan asap hitam bersentuhan. Tepat setelahnya, sinar emas melilit kaki para makhluk, menjalar hingga ke tubuh, kepala, kaki-kaki yang lain, hingga menyelimuti para Droxa tanpa sisa. Asap hitamnya pun tak meninggalkan jejak. Cahaya itu membulat, menciut dalam sepersekian detik, lalu lenyap menjadi butir-butir kecil warna putih keemasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]
Fantasy[Fantasy - Romance - Adventure - Action] - Highest Rank #62 on June 22nd 2017. 17+ Warning, karena ada violence. - Exolia (Trace of A Shadow #1) - COMPLETED - Onogoro (Trace of A Shadow #2) - ONGOING - Savior (Trace of A Shadow #3) - Februari...