Kau Tidak Sendirian (Part I)

360 58 9
                                    

Author's Note: Kembali hadir chapter 18 dalam 2 part~ Udah berasa kah mo habis? Hehe. Eniwei, bikin pertarungan kali ini beneran susah. Ada kemungkinan bakal direvisi lagi minggu depan. Cuma mungkin yak. Soalnya author juga seperti biasa, masih sibuk. Hehe. Btw, makasih banget loh yang udah komen tiap minggu. Sori ya kadang telat atau gak bales2. Just wait patiently, guys. I'll come to you soon enough :)

Pic Note: Dibuat oleh Esty Swandana. Itu gambar Tuan Meyr yang keren. Demen banget liatinnya. Hehe.

Prev Chap: Sementara pertarungan sengit antara Nona Orphea dan Satsu berlangsung, Putri Ester diminta mengumumkan keputusannya dalam pesta. Dia menolak mentah-mentah, lalu berlari ke pelukan Leonore. Putri Hilderose datang bermaksud menghentikan pesta, sementara Orphea yang tengah terluka juga tiba, menuduh Tuan Meyr sebagai dalang dari semua ini. Atas perintah Pangeran Alvaron, akhirnya Tuan Meyr membuka kedok.

******

Kedai di kota Kainsea sama ramainya dengan kota-kota lain di Exolia, kecuali Rayongarde, pikir Satsu. Dia mengamati orang-orang berpakaian heboh di sana. Ada gaun yang tersusun dari beberapa kain berbeda warna; perhiasan mencolok pada leher, telinga, tangan, atau kepala; sepatu bot berhak tinggi yang bahkan dipakai pria; Satsu tak bisa berhenti mengernyitkan alis.

"Bukankah kota ini lebih mirip tempat kita daripada Exolia?"

Begitu mendengar suara pria menggema di kepalanya, Satsu segera menoleh. Tuan Meyr duduk di kanannya. Dia memasukkan kentang ke mulut, lalu tersenyum. "Kau belum memakan punyamu." Suara itu menggema lagi, sementara mulut Tuan Meyr tak bergerak ketika mengucapkannya.

"Bisakah Ayah bicara biasa saja?" Putri Hilderose—yang duduk di sebelah kiri—mengelap mulut dengan sapu tangan setelah menyantap sebagian besar makanannya—setidaknya masih tersisa beberapa tomat.

"Dari mana kautahu Ayah sedang bicara dengan Satsu?"

"Kalian saling menatap."

Tuan Meyr menyemburkan tawa hingga tersedak. Segelas air putih dihabiskannya, lalu dia meminta yang baru. "Yah, Satsu tak bisa bicara kan? Jadi, wajar kalau—"

"Komunikasi bisa dilakukan dengan cara apa pun, Ayah. Bahasa tubuh misalnya."

"Kata putriku yang komunikasinya juga lemah."

Putri Hilderose membelalakkan mata, ingin sekali membalas kecaman ayahnya. Namun, dia tahu tak bisa. Tuan Meyr malah meledeknya lagi, memancing bantahan demi bantahan dari Putri Hilderose.

Sementara itu, Satsu tersenyum.

Herannya, Putri Hilderose yang duluan menyadari hal itu. "Apa yang kautertawakan?" Ketika Satsu menatap Tuan Meyr kembali, sang putri menepuk lengannya. "Jangan gunakan ayahku terus!"

"Tapi memang dia tak bisa bicara, Hilde."

"Kita harus membiasakan otak bekerja, Ayah."

Mendengar perdebatan itu, Satsu kembali mengembangkan senyum. Tanpa menunggu Putri Hilderose mengomelinya lagi, dia segera memperhatikan apa saja yang ada di meja: tiga piring, tiga gelas, dan peralatan makan. Tidak buruk, pikirnya. Satsu mencelupkan telunjuk pada saus merah kentang yang belum disentuhnya semenjak tadi.

"Satsu, jangan—"

"Tunggu, Ayah!" Putri Hilderose memotong. "Satsu ingin menyampaikan sesuatu."

Satsu sibuk menorehkan garis demi garis di atas meja kayu—di samping piringnya—membentuk sebuah wajah mungil. Untuk rambut, dia mengambil saus lebih banyak, lalu membuat sebidang persegi panjang merah. Dengan mata lancip dan mulut mengeluarkan api, tampang mungil itu tampak sedang marah. Satsu lalu menunjuk Putri Hilderose dan gambarnya secara bergantian.

Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang