Aftermath (Part II)

616 88 17
                                    

Putri Ester mondar-mandir di depan ranjang sambil sesekali melihat jendela. Dari tadi dia gusar. Beberapa kali gadis itu melangkah menuju pintu, tetapi kembali lagi ke sisi ranjang. Duduk pun tak bisa.

Ayahnya menyuruh untuk tinggal di dalam. Putri Ester memang tak pernah ikut dalam rapat dengan kesatria atau bangsawan, kecuali umurnya sudah mencapai kedewasaan. Namun, di saat seperti ini, dia tak bisa berhenti memikirkan apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukannya. Menunjukkan kegusaran di depan para penjaga atau penduduk pun akan menambah kekhawatiran yang lain. Pada akhirnya, hanya di kamarlah tempat sang putri bisa berpikir.

Langkah Putri Ester terhenti ketika ada yang mengetuk pintu. "Ini aku, Hilde."

Bibir Putri Ester membentuk garis lurus. "Masuklah."

Pintu berderit terbuka. Putri Hilderose berjalan masuk dengan sedikit pincang.

Putri Ester mengernyitkan alis. "Kau tidak apa-apa?"

"Para Penyembuh sudah menyembuhkan lukaku."

"Oh, tentu saja." Putri Ester masih mengamati kaki Putri Hilderose. Dia tiba-tiba saja teringat pertengkaran ayahnya dengan Tuan Meyr yang berakhir dengan kata-kata misterius. Apa Putri Hilderose mengetahui sesuatu?

"Tuan Putri?"

"Ah, maaf." Putri Ester menaikkan dagu. "Ada keperluan apa?"

"Aku cuma ingin tahu, apa kau sudah memikirkan tentang lamaran itu?"

Mata Putri Ester menyipit. Seingatnya, Putri Hilderose tidak mengikuti perbincangan lamaran itu kemarin. "Kau ternyata tahu juga tentang itu."

Putri Ester menelisik gerak-gerik dan ekspresi Putri Hilderose yang tak banyak berubah. Setidaknya, dia menyadari adanya entakan. Mungkin dugaannya benar. Putri Hilderose tahu sesuatu dan berniat menyembunyikannya.

"Pangeran dari kerajaan Magna itu datang ke kota kami. Sudah pasti aku juga tahu tentang itu."

"Apa ini ada hubungannya dengan kejadian hari ini, Hilde?"

Putri Hilderose menelan ludah. "Apa maksudmu?"

"Aku lebih memikirkan orang-orang yang kehilangan rumah dan keluarga daripada lamaran itu," sang putri berjalan mendekat, menatap Putri Hilderose lekat-lekat dari jarak satu meter, "juga orang yang menyebabkan semua ini. Seharusnya kau juga begitu, kecuali entah atas alasan apa, lamaran itu lebih penting daripada kejadian ini ... atau setidaknya, mereka saling berkaitan."

Putri Hilderose terdiam sejenak. "Pikiranmu terlalu berlebihan. Aku cuma ingin mengajakmu bicara agar kau tak terlalu memikirkan musibah kita hari ini, tapi kalau kau mau, kita bisa bicarakan betapa malangnya orang-orang kota hari ini dan betapa sakitnya kakiku ketika tercabik oleh Droxa."

Putri Ester tertegun. Gambaran-gambaran Droxa berputar kembali di kepalanya. Geram menjijikkan mereka pun terngiang. Dengan langkah lemas, gadis itu menjauh dari Putri Hilderose, lalu menarik napas dalam-dalam. "Kau benar. Ada baiknya kita melupakan sejenak tentang musibah itu."

"Kalau begitu—"

"Tapi lamaran itu juga bencana untukku. Aku tidak ingin membicarakannya." Putri Ester berbalik dan duduk di tepi ranjang. Pandangannya teralih ke dinding, kamar berkarpetnya yang untungnya masih tak tercabik, lalu ke rok gaunnya yang masih sedikit berdebu.

Putri Hilderose mendesah mengamatinya. Bukan berarti dia tidak mengerti. Justru dia sangat paham.

"Apa kau mencintai kerajaan dan orang-orang Exolia, Ester?"

Putri Ester mengangkat wajah. Panggilan itu memang diizinkannya terhadap orang-orang dekat, terutama kepada dua sahabat baiknya—Leonore dan Putri Hilderose, seandainya saja Hilde tidak menghilang bertahun-tahun! "Tentu saja," jawab sang putri.

Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang