Kekacauan (Part I)

670 93 17
                                    

Author's Note: Seperti biasa, terima kasih atas dukungan ke Trace dan chapter kali ini pun dibagi 2 :) Satsu kembali menghilang di chapter ini. Wkwkwk. Pace dan penulisan mungkin agak labil, tapi di chapter ini author cukup seru juga nulis action-nya. Krisar dipersilakan ya~ ^^

Note: Pic dari google. Bisa ada yang mirip seperti bayanganku loh. Wkwkwk.

Prev Chap: Setelah mendengar kata-kata Putri Hilderose, Leonore malah jadi ingat masa lalunya. Di hari setelah dia ditugaskan menemani keluarga Meyr, Putri Hilderose mengajaknya jalan-jalan. Sementara itu, Satsu mendapat misi baru dengan menyamar sebagai wanita. Di perbatasan, dia membunuh penjaga. Droxa bermunculan di kota setelah kubah Lumeprodia lenyap.

******

Teriakan mengisi kota Loka, mulai dari jalan utama hingga ke pelosok-pelosok. Derap kaki menjejak tanah, mereka berlarian ke arah istana. Para Droxa berjalan pelan dari arah perbatasan, juga bermunculan dari bawah.

Seorang wanita tersungkur. Dia berniat menggerakkan kaki, tapi terasa berat. Sesuatu menggores kakinya hingga dia mengaduh. Kepalanya menoleh. Matanya membelalak pada sebuah tapak yang menginjak pergelangan kakinya. Geram mengikuti kemunculan Droxa berkaki empat dari bawah tanah. Wanita itu menjerit.

Sebuah bilah cahaya menusuk mulut Droxa yang menganga, menembus hingga leher belakang. Droxa itu mundur terhuyung-huyung hingga pecah menjadi asap hitam. Pedang cahaya lenyap bersamanya, meninggalkan lantunan bel singkat.

Leonore menepukkan tangan. "Lumegladio," rapalnya. Butir-butir cahaya mengumpul, lalu memadat dan memanjang seiring dia menarik kedua tangan menjauh. Padatan cahaya itu meruncing di ujung kiri, lalu membentuk pegangan di ujung yang lain. Leonore mengambil gagang pedang Lumegladio dan memelesat menembus arus.

Putri Hilderose memanggil Leonore, tapi pemuda itu terus menerjang. Sang putri mengamatinya menebas Droxa satu per satu.

Bagaimana mungkin Lumeprodia bisa lenyap?! Leonore menggeram kala dia menusuk punggung Droxa dari atas. Beberapa burung kecil pun langsung dia tebas sekaligus. Pandangannya tetap tertuju pada dinding perbatasan.

Sementara itu, seorang pria gemuk bercelemek mengibas-ngibaskan tongkat kayu di pinggir jalan. Droxa setinggi pinggang menggeram di depannya. "Memangnya aku takut dengan kalian?! Sini kalau berani!"

Leonore tersentak. Pandangannya teralih ke pria yang berdiri di dekat jembatan itu, cukup jauh darinya. "Hentikan! Kau tidak bisa melawan Droxa!"

Pria itu mengeritkan gigi. Dia mengayunkan tongkat, lalu melayangkan pukulan.

Kayu itu menembus begitu saja, seperti mengenai asap. Terbawa tekanan pukulannya sendiri, pria itu jatuh berlutut. Di depannya, mulut Droxa menganga. Pria itu pun membuka mulut dalam gemetar.

Leonore berdecak. Dia melempar pedang Lumegladio, menusuk Droxa itu tepat di leher. Monster hitam itu terhuyung-huyung ke belakang, sebelum lenyap bersama butir-butir cahaya Lumegladio.

"Leon!" Putri Hilderose kali ini berteriak.

Dua ekor Droxa menerjang ke arah Leonore. Pemuda itu mengeritkan gigi. Dia menghindar ke samping. Gumaman Lumegladio kembali terucap dari mulutnya. Dengan pedang cahaya di tangan, Leonore memutar tubuh, lalu membelah tubuh Droxa dari punggung ke perut. Pedang terayun lagi menusuk dada Droxa kedua. Setelah mencabut Lumegladio, kedua monster itu pecah menjadi asap.

Leonore menoleh ke Putri Hilderose. Gadis itu berjalan mendekat, menembus kerumunan. Leonore berdecak. "Jangan kemari!"

Putri Hilderose tertegun. Dia spontan berhenti.

"Pergilah ke istana! Di sana banyak Kesatria Lumia yang bisa melindungi Anda!"

"Bagaimana denganmu, Leon?" Putri Hilderose mengabaikan orang-orang yang menubruk bahunya. "Kau sendirian!"

"Aku harus mengecek batu pembentuk Lumeprodia di dinding perbatasan." Leonore menusuk satu Droxa yang hendak muncul dari bawah tanah. "Lagipula, aku bisa mengatasi ini sendiri. Masih ada batu lain di selatan kerajaan yang harus diperiksa. Temui Kesatria Orphea!"

Putri Hilderose melirik tanah, berpikir. Setelah beberapa saat, dia menyetujui Leonore. "Kutunggu kau di istana, Leon!"

Leonore berhenti menebas untuk beberapa detik. Bayangan Putri Ester tebersit di benaknya. "Tentu saja," gumam Leonore. Dia yang sebenarnya paling ingin ke istana, mengecek keadaan Putri Ester, tapi masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya di situ. Sambil menggeram kesal, Leonore menerjang sekumpulan Droxa yang menghalanginya.

Apa yang sebenarnya terjadi?!

******

Ally menusuk satu Droxa tikus dengan tatapan bosan. Wilayah Bayangan sungguh membosankan, pikirnya, tapi tidak ada yang lebih membosankan dari mengawasi pria tua yang tidur-tiduran seperti Meyr! Ally mengacak-acak rambut merahnya sambil berteriak. Dia benci melihat orang tidak bergerak, tapi itulah misinya kali ini. Lagipula, entah kenapa jumlah Droxa tiba-tiba saja berkurang. Pandangan Ally mengedar ke sekeliling. Dari tadi, dia cuma menghabisi Droxa-droxa kecil.

Suara kain bergeser dan rintihan pria menyentak Ally. Tuan Meyr terbangun. Tatapan gadis itu langsung menajam, mengamati Tuan Meyr yang berjalan mendekati jendela sambil menggaruk-garuk kepala.

"Ally!" Panggilan seorang wanita menggema di kepala si gadis.

Ally terlonjak. "Jangan mengagetkanku begitu!"

"Maaf, tapi aku harus mengubah misimu. Droxa masuk ke kota."

Jantung Ally berdegup keras. Pandangannya kembali teralih ke Tuan Meyr. "Tapi aku sudah mengawasinya dari tadi! Siapa—"

"Itu bisa kita bicarakan nanti. Pergilah ke dinding perbatasan utara dan bantu Leonore memperbaiki Lumeprodia! Aku yakin dia sedang melakukannya sekarang."

Ally masih ragu. "Bagaimana dengan Lucian Meyr?" Dia mengamati Tuan Meyr yang tampak terburu-buru.

"Misimu telah diganti, Ally. Lakukan apa yang kusuruh!"

Ally menyipitkan mata. Seekor Droxa di sudut ruangan berubah menjadi asap menembus langit Wilayah Bayangan.

Di sudut kamar, Tuan Meyr tersentak melihat Droxa tikus kecil. Dia mengambil tongkat, mengarahkan ujungnya ke monster, sambil berpegangan pada tiang ranjang. Untung saja dia sudah selesai berpakaian. Tuan Meyr mundur mendekati pintu.

Perlahan, Tuan Meyr memutar kenop. Droxa tikus masih berjalan pelan ke arahnya. Tak mungkin makhluk itu bisa mengejar. Tuan Meyr menyunggingkan senyum sebelum berbalik.

Droxa setinggi pinggangnya menggeram di depan pintu.

Tuan Meyr spontan mundur. Kakinya kehilangan keseimbangan, dia jatuh terduduk. Pria itu menarik tubuhnya ke belakang. Beberapa geram membuatnya menoleh. Droxa-droxa tikus bermunculan semakin banyak di sisi-sisi kamar.

Pria tua itu terkurung. Namun, tatapannya tetap tajam. Tak setitik pun sorot ketakutan terpancar di matanya.

Para Droxa melompat. Taring-taring hitam siap menerjang. Tuan Meyr mengangkat tangan menutupi wajah.

Sebuah bilah hitam muncul dari tanah, disusul bilah-bilah lain, menusuk tubuh para Droxa secara bersamaan, mendorong mereka hingga ke langit-langit. Benturan dan geram mengisi ruangan.

Dari balik tangan, Tuan Meyr mengintip. Dia lalu mengangkat alis, terperangah menyaksikan para Droxa menggeliat, sebelum mereka lenyap bersama bilah-bilah hitam menjadi asap. Setelah memastikan ketiadaan Droxa di sekitar, pria itu berdiri. Dia berjalan cepat, keluar dari tempat itu.

Ally mengamatinya sebelum menendang kehampaan, memelesat menembus dinding-dinding menuju perbatasan kota.

Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang