Kekacauan (Part II)

623 104 39
                                    

Droxa berbentuk harimau terbelah dua secara vertikal pada bagian kepala, sebelum lenyap menjadi asap. Leonore menegapkan tubuh. Pedang Lumegladio masih di tangannya. Sekawanan Droxa lain sudah mulai berdatangan dari arah hutan. Di antara bau dedaunan, Leonore mampu mencium sesuatu yang amis.

Mata Leonore langsung terarah ke samping. Di kirinya, seorang kesatria tergeletak dengan mulut menganga. Darah menggenang di sekitar kepalanya.

Leonore mendekat, tapi segera menutup mulut ketika sampai. Sebuah lubang terbuka di leher kesatria itu. Leonore mundur beberapa langkah. "Kesatria Arell," gumamnya. Tiba-tiba, kaki Leonore membentur sesuatu. Begitu berbalik, dia melihat mayat kesatria lain. Kali ini, leher mayat itu putus sepenuhnya. Napas Leonore tercekat. Kedua matanya membelalak. Dia mulai gemetaran. Bayangan lain menghantui pikiran pemuda itu.

Mayat ayahnya dulu.

Leonore menggenggam pedang lebih erat dan mengeritkan gigi. Dia tidak boleh lupa kewajibannya. Pemuda itu mendongak ke atas. Batu sihir pemancar Lumeprodia seharusnya berada di sana, dijaga oleh dua orang lain. Dia menelan ludah ketika memikirkan situasi terburuk.

Ada tangga bertali di tembok sebelah kanan. Leonore mengubah posisi genggaman pedang sebelum beranjak naik. Ketika memanjat, sesekali pemuda itu melirik ke bawah. Beberapa Droxa memelototinya, terdiam di bawah tangga, sementara yang lain tidak peduli dan memasuki kota.

Kaki kanan Leonore terpeleset. Pedangnya terjatuh. Pemuda itu berdecak. Setidaknya, salah satu Droxa di bawah tertancap pedang itu. Sungguh kebetulan.

Leonore melanjutkan langkah. Tanpa pedang, dia lebih bisa mencengkeram erat tangga-tangga di atasnya. Namun, seekor Droxa kali ini memelototinya dari atas. Leonore tersentak. Dia buru-buru melingkarkan lengan pada anak tangga agar kedua telapaknya bisa saling menepuk. Tepat ketika Droxa itu meluncur turun, Leonore merapal Lumegladio.

Pedang cahaya terbentuk. Mulut Droxa menganga. Leonore bergerak ke samping. Taring Droxa merobek bahunya sedikit. Leonore meringis, sebelum dia melancarkan tangan kanannya, menusuk monster itu. Ketika menggeliat, berat Droxa cukup membuat Leonore mengaduh, sebelum akhirnya makhluk itu lenyap seperti yang lain.

Darah mengalir dari bahu Leonore hingga matanya menyipit. Namun, tak ada waktu untuk berhenti. Dia cuma bisa berharap kepada Eoden agar memihaknya hari itu.

Sesampainya di atas, Leonore mendesah. Tidak ada Droxa lain terlihat. Di tengah dinding, dua orang terbaring. Leonore sudah bisa memperkirakan hal itu. Dahinya mengerut kala mendekati para mayat. Di sebelah mereka berserakan kumpulan batu. Lambang putih Lumeprodia terukir di permukaan batu-batu itu, terpecah-pecah. Siapa yang menghancurkannya?

Tanpa buang waktu, Leonore menancapkan pedang pada batu, lalu mulai mengukir. Di kedua ujung dinding, asap hitam mulai bermunculan lagi.

******

Putri Hilderose berlari mengikuti kerumunan. Di depan gang menuju penginapan, dia menoleh.

Bekas darah dan daging bertebaran. Bau amis menyengat hidung. Putri Hilderose memegang tangan di depan dadanya dalam gemetar. Matanya membelalak ketakutan. Pikirannya teralih ke Tuan Meyr yang pagi tadi ditinggalkannya dalam keadaan masih tertidur. Apa yang harus dilakukannya? Menerjang masuk ke dalam gang menjijikkan itu?

Putri Hilderose menepuk pipinya keras-keras. Dia harus ke istana dan menemukan Kesatria Orphea. Itu adalah titipan Leonore. Ayahnya juga bukan pria lemah. Bisa saja Tuan Meyr sudah mencapai istana terlebih dahulu. Dengan pikiran positif, Putri Hilderose kembali melangkah.

Namun, teriakan seorang wanita yang terdengar dari belakang membuatnya terhenti. Sang putri menoleh.

Lagi-lagi ada Droxa yang menyerang dari bawah. Kaki wanita itu tercabik pada bagian belakang. Sebelum sempat berdiri, Droxa telah naik ke permukaan, diikuti sekumpulan Droxa tikus di sekeliling. Wanita itu hanya bisa menangis dan gemetaran.

Putri Hilderose melirik-lirik sekitar. Jalan itu hanya dipenuhi tanah dan batu. Banyak juga orang yang berteriak dan terhambat. Ada yang sudah tercabik pula. Apa dia harus menyelamatkan orang terdekat? Bisakah?

Putri Hilderose menajamkan tatapan dan mengeritkan gigi. Setidaknya ada kerikil. Sang putri mengambil dan melemparkannya ke salah satu Droxa paling dekat. Batu itu tembus begitu saja, tapi cukup untuk mengalihkan perhatian mereka. Para Droxa mulai berbalik, berjalan mendekati sang putri. Putri Hilderose tersentak. Gemetarnya kembali.

"Cepat lari!" teriak sang putri pada wanita itu.

Si wanita terperanjat. Dia menyadari para Droxa yang mulai meninggalkannya, lalu segera menjejak tanah dan berdiri. Wanita itu menarik kakinya meski harus tergores cakar Droxa. Dalam tangis dan napas yang memburu, dia segera berlari, hanya berpikir untuk selamat. Beberapa Droxa memerhatikannya, tapi Putri Hilderose menimpuk mereka lagi.

Wanita itu pergi meninggalkan ucapan terima kasih. Setelah terjamin aman, Putri Hilderose berhenti menyerang dan ikut kabur.

Sayangnya, cakar Droxa mencabik kaki Putri Hilderose, cukup dalam hingga darahnya mengucur.

Sang putri berteriak sebelum tersungkur. Dia memejamkan mata, berniat menyentuh kakinya. Namun, terdengar geram dari bawah. Putri Hilderose membuka mata. Dia membelalak melihat asap hitam keluar dari permukaan tanah. Spontan, sang putri berguling ke samping.

Tepat di saat itu, sebuah mulut bergigi tajam menerjang ke atas.

Putri Hilderose terengah-engah. Dia nyaris mati. Degup jantungnya semakin cepat. Ketika dia menyangga tubuh dengan telapak dan hendak berdiri, di depannya berkumpul para Droxa tikus dan harimau. Alis Putri Hilderose melengkung khawatir. Pandangannya terarah ke kaki yang berdarah, lalu ke monster yang melangkah pelan dari samping, kemudian ke orang-orang yang berteriak minta tolong.

Ada pria yang mulai tercabik, wanita yang masih menyeret kaki, juga para penduduk yang menghindari mereka. Tak ada yang berani menolong. Semua orang memedulikan nyawa masing-masing. Meski kerajaan punya Kesatria Lumia, hanya sedikit yang ditempatkan di kota untuk menjaga, karena Lumeprodia tak pernah lenyap. Droxa tak pernah berhasil masuk. Penduduk kota yang membutuhkan bantuan tak pernah terasa sebanyak itu.

Sefatal inikah kota tanpa Lumeprodia?

Putri Hilderose mengepalkan tangan. Meski dengan monster mengelilingi, dia tetap berusaha berdiri. Sang putri sedikit meringis ketika kaki kanannya memijak. Jalannya pincang, tapi dia harus tetap bergerak menuju istana. Ketika seekor Droxa menggeram dan melompat, sang putri menutupi wajah dengan tangan. Matanya terpejam. Di sudut otaknya, dia masih berharap tangannya saja yang putus, bukan nyawanya.

Taring-taring itu pecah sebelum sampai.

Putri Hilderose tak merasakan sakit apa pun. Dalam dunia yang gelap, dia mendengar tarikan napas orang-orang di sekitar. Banyak yang terkesiap, entah atas alasan apa. Geraman juga berkurang sedikit demi sedikit. Beberapa orang mengucapkan terima kasih. Derap kaki terdengar di sekelilingnya.

Perlahan, Putri Hilderose membuka mata.

Ada seorang pemuda yang menebas para Droxa. Dia bukan Leonore, bahkan tidak seperti penduduk Exolia kebanyakan, sebab pria itu berambut hitam, sama seperti sang putri.

Atas suatu alasan, air mata mengalir di pipi Putri Hilderose, sebelum dia jatuh terduduk.

******

Author's Note: Sekian chapter kali ini. Omong-omong soal kenapa Satsu munculnya selalu dikit, emang sejak awal Satsu bakal jadi sampingan dulu di Arc I. Well, tindak-tanduknya diharapkan bisa memberi sedikit petunjuk tentang mo ngapain dia. Next chapter bakal lebih fokus ke Satsu karena di sini lumayan fokus ke Leon dkk sih. Haha. Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komen bila kalian suka yah ^^ Krisarnya kalau berkenan :)

Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang