Satsu mendengus kesal kala dia mengangkat rok hitamnya, melangkah di sepanjang jalan utama kota Loka. Wig pirang yang dia pakai menekan kepalanya hingga sakit. Dia bisa merasakan tatapan orang-orang sekitar. Pipinya memerah semenjak keluar dari kamar dengan pakaian wanita.
"Nona cantik yang ada di sana!"
Satsu melotot ke arah pria yang memanggil. Bisa dilihatnya si penjaga toko bergidik. Roti yang dipegang pria itu jatuh ke tumpukannya semula. Dia tersenyum asimetris. "Barangkali Anda mau beberapa roti?"
Perut Satsu bergemuruh. Spontan dia membungkuk lemas. Kekesalannya lenyap seketika, berganti lapar. Dia sudah diberi uang, tak ada salahnya dipakai sekarang. Satsu melangkah, lalu menginjak bagian dalam roknya dan jatuh tersungkur.
Repot sekali jadi wanita!
Ada pria yang menawarinya bantuan, tapi Satsu berdiri tanpa memedulikannya. Dalam balutan gaun, tangan dan kakinya yang berotot memang tak terlihat. Untungnya juga, pria Jepang seperti dirinya bertubuh lebih kecil dari kebanyakan pemuda Exolia. Meski begitu, jika dipegang, kulit kasar dan telapak besar Satsu bisa menimbulkan kecurigaan. Dia melemparkan tatapan tajam ke pria yang menyapanya agar menjauh. Setelahnya, Satsu membeli lima roti daging.
Tak butuh waktu terlalu lama bagi Satsu untuk membiasakan diri dalam kostum itu. Setidaknya, dia sudah mulai tenang. Kakinya masih sering menginjak rok, tapi tidak sampai menyebabkannya jatuh. Dia juga sudah jarang menunduk.
Setidaknya, cukup untuk misi kali ini.
Tatapannya semakin tajam, tertuju pada perbatasan kota. Berlawanan dengan itu, kedua tangannya mulai gemetaran.
Seperti hari yang lalu, berbagai aroma makanan bisa tercium, mulai dari buah-buahan segar hingga masakan kedai ala seafood. Ada keheranan tersendiri mengapa apel tidak dijual, padahal itu cukup mengenyangkan dan sehat. Besar di keluarga dokter membuat Satsu cukup memerhatikan hal itu.
Mendekati jembatan dekat perbatasan, seekor kucing mengeong. Satsu baru saja berniat melahap roti terakhir. Dia terdiam sesaat, memerhatikan si kucing yang terhuyung-huyung di ujung gang. Telinganya tinggal satu. Tubuhnya terlalu kurus hingga tulang-tulangnya tercetak. Beberapa bulu hitamnya kotor oleh darah.
Kucing itu mengeong lagi.
Satsu berjalan perlahan, mendekati kucing itu.
"Masih ada hewan di sini?!" teriak seorang pria.
Kucing itu mengeong, lalu bunyi gedebuk menggema di telinga Satsu.
Satsu berkedip.
Seorang pria paruh baya memukuli si kucing dengan tongkat kayu, beberapa kali. Satsu hanya bisa melihat punggung si pria, juga kucing yang meronta-ronta. Teriakan si kucing terlalu kecil bila dibandingkan keriuhan kota Loka. Setelah tak bergerak, pria itu mengambil bungkusan. Dia memasukkan mayat si kucing ke dalamnya, lalu membuangnya ke keranjang sampah yang terbuat dari kayu.
Pria itu mendesah lega. "Kita tidak tahu kapan hewan-hewan kecil seperti itu bisa berubah jadi Droxa. Ya, kan, Nona?" Dia tersenyum ke Satsu.
Satsu tak memedulikannya. Dia batal memakan roti terakhir dan membuangnya bersama bungkusan ke dalam keranjang sampah yang sama. Kedua tangannya mengepal memegangi rok saat dia berjalan lagi. Jantungnya berdegup kencang menyeberangi jembatan berlantai batu.
Keriuhan kota Loka semakin menjauh. Geram Droxa di hutan luar terdengar beberapa. Barisan burung bertubrukan dengan kubah pelindung Lumeprodia. Sebagian yang bukan Droxa berhasil masuk ke dalam.
Kemudian, Satsu menapak di perbatasan.
Kedua kesatria penjaga terperanjat. Mereka saling menatap. Kesatria kiri menaikkan bahu, sementara yang kanan mengangguk, menyuruh yang kiri untuk menanyai.
Kesatria kiri mendesah. "Anda mau melakukan perjalanan ke luar kota, Nona?"
Satsu terdiam. Dia menunduk. Kedua tangannya mulai gemetaran.
Mendapati hal itu, si kesatria menaikkan sebelah alis. "Anda tidak apa-apa?"
Aku harus melakukannya, aku harus melakukannya, aku harus melakukannya ....
"Hei!" panggil kesatria itu.
Satsu menoleh. Kedua matanya melotot.
Si kesatria bergidik. Ada sesuatu yang aneh, tapi dia segera memulihkan ketenangan. "Anda baik-baik saja?"
Satsu bergerak perlahan, mendekati si kesatria.
Sebilah pisau keluar dari balik lengan bajunya.
Si kesatria tersentak. "Apa?!"
Satsu menggores telapak kanan dengan belati itu. Asap hitam keluar dari luka, memadat seiring panjangnya bertambah.
Kesatria itu belum sempat bereaksi. Pedang hitam menembus zirahnya hingga ke leher. Dia membelalak. Lidahnya keluar bersama napas putus-putus.
Satsu memendekkan pedang. Darah bermuncratan keluar bersama dengan jatuhnya si kesatria.
Dunia Satsu berubah sunyi seketika. Satsu tak dapat mendengar teriakan rekan si kesatria itu di belakangnya. Hanya napasnya yang menggema. Pandangannya pun menyempit ke mayat yang tergeletak.
Entah kenapa, Satsu ingat kucing tadi.
******
Seorang pria berotot kekar menaruh gelas bir pada meja kayu panjang. Isinya bermuncratan sedikit. Leonore menelan ludah melihat pelanggan di sampingnya meminum bir itu.
"Mau?" tawar si pemilik bar yang berotot itu.
Leonore tersenyum. "Aku sedang bertugas." Dia berbalik membelakangi meja bar.
Putri Hilderose berada di meja tak jauh darinya. Dua meja lain berderet di belakang hingga mendekati pintu masuk. Ada total empat baris, dengan jumlah yang sama di lantai dua, menjadikan kedai itu sebagai tempat makan terluas di kota Loka.
Mengamati Putri Hilderose yang menikmati makanannya dengan anggun, Leonore lagi-lagi merasakan perbedaan dengan ketika bersama Putri Ester. Putri Hilderose tak banyak bicara ketika makan. Itu cukup membuatnya canggung hingga harus meninggalkan meja dan menghampiri bagian minuman. Setidaknya orang-orang kota Loka masih elegan dan penuh sopan santun jika dibandingkan pedesaan. Tak ada yang mengganggu Putri Hilderose.
Teriakan kecil terdengar di antara obrolan.
Leonore mengerutkan dahi. Dia memasang telinga baik-baik. Itu bukan dari dalam kedai.
Teriakan itu bertambah, mengeras, semakin dekat. Orang-orang di dalam kedai menghentikan kegiatan. Mereka berdiri dan ikut mendengarkan. Kekhawatiran menjalar sedikit demi sedikit di dalam hati masing-masing.
Putri Hilderose berdiri. "Ada apa ini?"
Leonore mendekat. "Tenanglah, Tuan Putri. Aku akan—"
Pintu kedai terbuka. Seorang pria masuk terengah-engah. "Tuan Leonore! Apa Tuan Leonore ada di sini?!"
"Tenanglah, kawan!" Leonore berlari menghampiri orang itu. "Aku di sini. Katakan apa yang terjadi!"
"Droxa ...." Pria itu memegang lengan Leonore. Dia gemetaran. Ketakutan tergambar jelas di wajahnya. "Lumeprodia kita lenyap."
******
Author's Note: Makasih udah baca XD Ikuti terus Trace tiap Rabu ya~ Doakan agar selalu konsisten. Hihi. Jangan lupa untuk vote dan komen jika kalian suka atau punya opini. Btw, ini adalah babak kedua dari Arc 1. Klimaks semakin dekat~
PS: Pict kucing di atas diambil dari google, untuk mengenang :')
KAMU SEDANG MEMBACA
Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]
Fantasy[Fantasy - Romance - Adventure - Action] - Highest Rank #62 on June 22nd 2017. 17+ Warning, karena ada violence. - Exolia (Trace of A Shadow #1) - COMPLETED - Onogoro (Trace of A Shadow #2) - ONGOING - Savior (Trace of A Shadow #3) - Februari...