Hilderose dan Meyr (Part II)

1K 149 30
                                    

Setelah selesai menghabiskan makanan, Putri Hilderose berjalan ke luar kedai, menerobos beberapa pelayan yang lalu-lalang dan pria-pria yang baru masuk. Ia harus menunggu beberapa menit di samping pintu kedai selagi Tuan Meyr membayar makanan. Mudah-mudahan tak lama, pikirnya, atau ia bisa mati bosan melihat tatapan-tatapan juga senyum sinis dari orang-orang desa terhadapnya. Itu reaksi yang biasa sekali.

Begitu tongkat Tuan Meyr menjejak tanah luar kedai, Putri Hilderose membuang napas lega.

"Apa yang kau khawatirkan lagi? Hmm?" Tuan Meyr menyodorkan siku tangan kiri.

Putri Hilderose menyambut tangan itu, menggandengnya. "Tidak ada."

Kala berjalan, Putri Hilderose harus mengangkat gaun hitamnya sedikit agar kakinya tak tersangkut. Setidaknya, ia takut hal itu terjadi, hingga bahkan matanya terus menatap tanah. Ia bernapas lega lagi begitu sampai di pintu masuk desa.

Kedua kesatria yang sempat sang putri amati tadi memanggilkan kusir beserta kereta kuda hitam yang mereka tunggangi dari Rayongarde. Lumeprodia pun tak lupa mereka rapalkan pada kereta kuda. Kubah cahaya menyelimuti seluruh kendaraan itu, hingga kuda dan kusirnya. Mereka tak perlu takut lagi akan ancaman Droxa di luar pelindung.

Perjalanan menuju kota Loka tidak bisa terbilang jauh, malah terlalu dekat untuk ditempuh kereta kuda. Tuan Meyr menyuruh kusir untuk berjalan pelan-pelan saja.

"Kita sudah mau sampai, Ayah." Putri Hilderose sama sekali tak menatap lawan bicara. Ia hanya memerhatikan dedaunan yang gugur di luar kereta, juga hancurnya beberapa Droxa yang berani menghampiri.

"Ayah tahu, Hilde."

Ketenangan suara itu membuat Putri Hilderose mengernyitkan alis. "Apa tidak ada jalan lain?"

"Kau sudah tahu jawabannya."

"Aku masih mencari tahu jawabannya, Ayah." Akhirnya sang putri menoleh. "Kuharap, Ayah juga begitu."

Tuan Meyr hanya tersenyum. "Apa kau percaya takdir, Hilde?"

Ada jeda sesaat sebelum Putri Hilderose bertanya balik, "Apa Ayah percaya?"

"Yang Ayah percaya bukan takdir, tapi teman."

******

Ada keresahan tersendiri ketika Putri Hilderose melangkah keluar dari kereta kuda, menyusul ayahnya. Bisa ia lihat wajah terkejut kedua orang di depan pintu masuk kota Loka. Entah sudah berapa tahun sang putri tak melihat wajah-wajah itu.

Leonore tiba-tiba saja berlari menghampiri mereka. Itu cukup membuat sang putri gugup sejenak, memaksanya memalingkan wajah.

"Tuan Meyr," Leonore menunduk, "bukankah baru dua minggu yang lalu Anda datang melapor? Apa terjadi sesuatu di Rayongarde?"

Tuan Meyr tertawa sembari menepuk pundak Leonore. "Kau terlalu serius seperti biasa, Tuan Leonore."

Dahi Leonore mengerut. "Tapi ... kudengar Dinding Hitam di sekitar Rayongarde mengeluarkan asap lebih banyak dari biasanya. Lagi pula, Anda juga datang ke kerajaan—"

Geram pelan lagi-lagi datang mendekat. Tuan Meyr mengedarkan pandangan ke sekeliling, sebelum ia menatap Leonore kembali. "Bagaimana kalau kita bicara sambil jalan saja? Di luar sini cukup bahaya, bukan? Aku juga membawa putriku hari ini." Tuan Meyr menyodorkan tangan, yang disambut Putri Hilderose seiring ia maju ke depan.

Putri Hilderose menekuk lutut sambil mengangkat gaunnya sedikit. "Salam, Tuan Leonore."

"Ah." Leonore menunduk. Namun sebelum sempat mengamati lebih jauh, Putri Hilderose melangkah melewati Leonore. Leonore spontan menoleh. Matanya membulat melihat sosok gadis bergaun hitam yang tak memedulikannya itu.

"Maafkan putriku, Tuan Leonore. Dia memang jarang keluar dari Rayongarde."

Masih butuh beberapa detik untuk Leonore berpaling dari Putri Hilderose dan kembali menatap Tuan Meyr. Ia tersenyum. "Ah, tidak, tidak apa-apa."

Sementara itu, di dalam kubah Lumeprodia, dekat pintu masuk kota Loka, Putri Ester mengamati Putri Hilderose lekat-lekat. Semakin dekat, tatapan Putri Ester semakin tajam.

"Hilde," gumam Putri Ester ketika Putri Hilderose tiba di depannya.

"Kulihat, kau masih dekat dengan Leon."

Mendengar panggilan yang biasanya ia pakai untuk Leonore malah digunakan oleh orang lain, membuat Putri Ester semakin yakin. Ia tidak suka Putri Hilderose. Sorot matanya semakin menunjukkan kekesalan. Namun Putri Ester tak mau kehilangan ketenangan. Ia harus tetap bersikap dewasa.

"Kurasa, Leon sudah tidak terlalu ingat padamu." Putri Ester tersenyum. "Itu salahmu sendiri sih, karena kau sudah lama tidak kemari lagi. Berapa lama?" Wajah Putri Ester menengadah ke langit, seakan ingin mencari jawaban yang ia sendiri sebenarnya tak terlalu peduli.

"Sebelas tahun."

"Ya, ya, sebelas tahun," jawab Putri Ester berseri-seri. Namun senyumnya segera lenyap. Pandangannya bertemu dengan wajah Putri Hilderose yang tiba-tiba berubah sendu. Putri Ester tak ingin mengakuinya, tapi entah mengapa, dadanya pun ikut terasa sakit.

Kemudian, kata-kata yang keluar dari mulut Putri Hilderose berikutnya, sama sekali tak ia duga.

"Mungkin aku lebih beruntung darimu, Ester. Setidaknya, aku bisa melupakan kalian selama sebelas tahun."

Author's Note: Yaay ^^/ Tokoh utama sebenernya udah muncul semua nih di sini. Tinggal ntar nongol2 lagi deng. Satsu kali ya, buat yang berikutnya. :) 

Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang