Sepanjang 19 tahun hidupnya, ini adalah kali kedua Leonore merasakan firasat buruk hingga dadanya sesak. Dahinya terus mengerut mengiringi Raja Herberth, Tuan Meyr, dan Putri Ester mendekati pintu keluar. Putri Ester juga masih menunduk, terdiam sepanjang sisa pembicaraan tadi hingga sekarang. Leonore tak pernah berhenti khawatir menatapnya.
"Jadi," Raja Herberth menoleh ke arah Tuan Meyr, "apa kau dan putrimu akan segera kembali ke Rayongarde? Tentu kau harus menjemput Pangeran Magna itu."
"Tidak juga. Aku sudah membicarakan itu dengan kusir dan para Kesatria Lumia di kediamanku. Pangeran Alvaron bersedia untuk datang ke sini bersama mereka, jadi aku dan putriku akan menginap di kota Loka hingga hari itu tiba."
"Kau bisa menginap di sini, Lucian. Kamar di istana masih banyak dan kau adalah tamu."
Tuan Meyr tertawa. "Aku tidak mau merepotkan, Herberth. Lagipula, aku ingin kalian berpikir tanpa pengaruh dariku. Aku sudah cukup banyak memberitahumu tadi."
Raja Herberth menyipitkan mata. Dia termenung sejenak sebelum memanggil Leonore tanpa menoleh. "Antarkan Tuan Meyr dan putrinya ke penginapan terbaik di kota Loka dan untuk beberapa hari ini, temanilah mereka."
Leonore tertegun. Dia juga melihat Putri Ester mengangakan mulut, tapi Leonore tak membiarkan sang putri yang bicara. "Bagaimana dengan Tuan Putri Ester?" Suaranya tegas, tanpa keraguan. "Aku adalah kesatria pribadinya. Sudah seharusnya aku menjaga Tuan Putri."
"Dan aku yang memberimu posisi itu, Leonore." Kali ini Raja Herberth menoleh. "Aku berhak menggantinya kapan pun aku mau."
"Ayahanda—"
"Jangan ikut membantahku, Ester."
"Yang Mulia," Tuan Meyr memanggil, "apa Anda mau mengawasiku?"
Raja Herberth menoleh. Pandangannya bertemu dengan tatapan santai Tuan Meyr. Satu hal yang membuatnya kesal dari dulu: dia tak pernah bisa menebak isi pikiran Tuan Meyr, sahabatnya sendiri.
"Tentu saja." Raja Herberth pun tersenyum sambil menaikkan dagu. "Aku cuma ingin memastikan keamanan dan kenyamananmu di kota Loka, Lucian. Kesatria terbaik seperti Leonore sangat pantas untukmu, atau kau meragukan kemampuannya?"
Tuan Meyr tertawa. "Tentu tidak, tapi bagaimana dengan penjagaan putrimu sendiri?"
"Kami masih punya banyak penjaga di sini. Masih ada juga Kesatria Orphea."
Tuan Meyr mengamati Raja Herberth. Selang beberapa detik, dia mengangguk. "Baiklah." Tuan Meyr tersenyum lagi. Dia lalu menepuk bahu Raja Herberth. "Tolong ingat kata-kataku tadi, teman. Aku percaya kau akan melakukan yang terbaik kali ini."
Tuan Meyr berbalik. Ketukan tongkatnya mengisi keheningan. Setelah beberapa langkah, dia sampai tepat di depan pintu.
Baru saja Leonore berniat menghampiri dan membukakan, ketika Tuan Meyr mendorong pintu itu dengan mudah. Leonore sempat menelengkan kepala. Rupanya pria itu lebih kuat dari apa yang terlihat.
Raja Herberth mengibas jubah merahnya. Dia mengikuti Tuan Meyr. Leonore menunduk ketika sang raja melewatinya.
"Ayahanda." Panggilan itu terdengar lemah.
Raja Herberth berhenti. Diam kembali memenuhi tempat itu. Raja Herberth mendesah ketika melihat dua penjaga berdiri di depan pintu. "Kita bicara lagi nanti, Ester."
"Apa Ayahanda sedang berusaha menjauhkanku dari Leon?"
Leonore mengangkat kepala. Dia menoleh ke Putri Ester yang ternyata masih menunduk. Tangan Leonore mengepal.
"Aku sedang melakukan yang terbaik, putriku," jawab Raja Herberth sebelum melanjutkan langkah.
Leonore mengamati kedua pria pergi. Ketukan sepatu mereka terdengar semakin menjauh. Kemudian dia menatap Putri Ester lagi. Dahinya semakin mengerut. "Kita harus menyusul mereka, Tuan Putri. Anda masih harus mengantar Tuan Meyr."
Putri Ester menggigit bibir bawahnya. "Tidak mau."
Leonore termenung. Mendengar suara lirih sang putri membuat dadanya ikut sakit. Di saat-saat seperti ini, apa yang harus dia lakukan? Menghiburnya? Bukankah itu akan membuat semuanya bertambah buruk? Perjodohan antar bangsawan biasanya adalah hal mutlak. Menghibur Putri Ester sama saja memberi harapan palsu.
"Kalau begitu, aku akan menyusul mereka terlebih dahulu, Tuan Putri. Aku akan menyampaikan salam Anda kepada mereka." Leonore menunduk hormat. Dia menelan ludah.
"Bagaimana kau bisa setenang itu, Leon?"
"Aku cuma menjalankan tugas, Tuan Putri." Begitu mengangkat wajah, akhirnya pandangan mereka bertemu. Untuk pertama kalinya setelah perbincangan yang mengejutkan tadi, mereka bertatapan. Leonore bisa merasakan kekecewaan dalam sorot mata Putri Ester. Dia harus mengalihkan pandangannya sesaat, sebelum menatap tajam lagi ke arah sang putri. "Sebaiknya Anda beristirahat dulu, Tuan Putri. Biarkan aku yang menangani hal ini."
Putri Ester tersentak. Di balik ketegasan suara dan tatapan Leonore, sang putri bisa merasakan kelembutan ... dan harapan. "Kau akan melakukan sesuatu?"
Leonore tersenyum. "Tentu saja."
Putri Ester menghela napas lega. "Aku akan merindukanmu, Leon. Kuharap, kau juga begitu."
Leonore tak langsung menjawab. Dia mengangguk pelan. "Cuma tujuh hari, Tuan Putri, dan kita akan bertemu lagi. Kuharap Anda akan baik-baik saja. Berkat Eoden menemani Anda."
"Berkat Eoden juga menemanimu, Leon."
Untuk beberapa detik, mereka kembali saling menatap. Banyak hal yang menumpuk di benak masing-masing, tapi mereka masih berpikir semua akan baik-baik saja.
Ketika Leonore berbalik pergi, Putri Ester pun berpaling menghadap dinding bisu ruangan itu. Ditatapnya langit-langit yang tinggi dan penuh ukiran. Air mata rasanya berniat jatuh. Putri Ester harus memejamkan mata untuk menahannya. Berkali-kali dibayangkannya wajah Leonore yang tersenyum. Dia bisa berpikir lebih positif jika mengingat itu.
Sementara itu di lorong, Putri Hilderose sudah menunggu Leonore keluar.
"Tuan Putri." Leonore menunduk.
Putri Hilderose mengangkat rok gaunnya sedikit dan berjalan, melewati Leonore.
Alis Leonore mengernyit seiring dia berbalik dan mengikuti putri bergaun hitam itu. Tidak seperti ketika bersama Putri Ester, Leonore selalu menjaga jarak, berjalan di belakang Putri Hilderose. Mereka menuju pintu keluar istana.
Namun, sebelum sampai, Putri Hilderose berhenti. Dia berbalik, menatap Leonore lekat-lekat.
"Sebegitu sulitnyakah berkorban, Leon?"
Leonore tak menjawab, hanya terkejut.
Putri Hilderose melanjutkan kata demi kata. Setiap pernyataan menusuk dada Leonore sedikit demi sedikit. Ketenangannya perlahan menghilang. Ada satu hal yang biasanya dia pertahankan di depan umum. Putri Hilderose mencabik-cabik hal itu perlahan.
Lalu, di lorong yang sepi itu, Leonore menarik lengan Putri Hilderose dan mendorongnya ke dinding.
Author's Note: Err... Tidak banyak yang bisa kukatakan di sini, selain seperti biasa, aku sudah melakukan yang terbaik. Terima kasih atas dukungannya selalu. Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komen jika kalian suka :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]
Fantasy[Fantasy - Romance - Adventure - Action] - Highest Rank #62 on June 22nd 2017. 17+ Warning, karena ada violence. - Exolia (Trace of A Shadow #1) - COMPLETED - Onogoro (Trace of A Shadow #2) - ONGOING - Savior (Trace of A Shadow #3) - Februari...