Hilderose dan Meyr (Part I)

1.5K 150 51
                                    

Author's Note: Bagian ini mungkin bisa kerasa cukup berat? Ahahah. Well, tiap chapter diusahakan membawa feel tersendiri, terutama ketika karakternya memang begitu. Eh? Satsu kok belum muncul-muncul lagi? Tenang aja. Ini masih ngenalin karakter-karakter dulu kok pelan-pelan. Wkwkwk.

Gambar Hilderose by: P3ndra9on (www.facebook.com/P3ndra9on-390369221311925/)

Prev Chap: Seperti biasa, Leonore menemani Putri Ester jalan-jalan di kota Loka, ibukota kerajaan Exolia. Selain menikmati seisi kota dan tentunya, memperdalam hubungan, mereka pun tak lupa mengawasi keamanan dan perkembangan kota tersebut. Namun di depan tembok perbatasan, ada seseorang datang di waktu yang tidak seharusnya.

Putri Hilderose bukan orang yang percaya takdir, tapi belakangan ini ia mulai ragu. Mungkin takdir memang sedang tertawa diam-diam, menikmati kebingungan manusia untuk memilih jalan yang telah disiapkan olehnya. Atau mungkin, ia lebih senang melihat orang-orang menyerah, mengatakan bahwa tak ada jalan lain.

Yah, wajar saja takdir tertawa. Ia selalu menang. Dan itu adalah hal yang paling menyebalkan, Putri Hilderose mendengus kesal.

Gadis itu memangku pipi pada tangan kiri dengan malas. Telunjuk kanannya mengetuk-ngetuk meja kayu dalam ritme pelan. Mata hijaunya sama sekali tak memerhatikan makanan pada meja, melainkan terpaku pada pemandangan di luar jendela. Angin dingin sesekali masuk, meniupkan rambut hitam sang putri dengan lembut, tanpa merusak keanggunan helaian demi helaian rambut lurus itu.

Ada sesuatu yang ia ingat—entah mengapa—beberapa hari ini.

Seorang wanita dengan rambut sehitam sang putri menatap kumpulan pohon maple di luar jendela. Daun-daun saat itu berwarna merah. "Kau tahu apa yang membuat seseorang berbeda dari orang lain?" Suara wanita itu terdengar lemah.

Putri Hilderose tak ingat sudah berapa lama wanita itu terbaring. Jari-jari tangannya pun sudah kurus. Namun energi kehidupan tak pernah pudar dari bibirnya yang merah dan matanya yang cokelat penuh cahaya. Kalau diingat-ingat lagi, suara lemah itu pun masih penuh ketegasan.

"Banyak orang bilang bahwa fisik itu tidak penting, bahwa apa yang ada di dalamnyalah yang terpenting. Apa kau pernah merasa iri pada orang-orang yang bisa mengatakan hal seperti itu, Hilde?"

Putri Hilderose terdiam, lalu menunduk. Namun sebuah tangan dingin mengangkat dagunya. Mata hijau Putri Hilderose kembali bertemu dengan wanita itu.

"Atau kau takut mengakuinya?"

Lagi-lagi, Putri Hilderose hanya bisa membisu. Bahkan ia sampai harus melirik ke samping.

Wanita itu tersenyum, lalu kembali menatap ke luar. "Mungkin terlalu cepat bagimu untuk mengerti. Kau baru dua belas tahun. Hanya saja, Ibu merasa tidak akan bisa melihatmu dewasa, karena itulah Ibu ingin mengatakannya kepadamu—"

"Hilde."

Panggilan itu membuyarkan lamunan Putri Hilderose seketika. Konsentrasinya kembali ke kedai kecil di pinggiran kota Loka. Seorang pria bermata hijau menatap khawatir ke arahnya.

"Kau tidak apa-apa?"

Dengan tangan masih menopang pipi, Putri Hilderose menggerakkan kepala hingga setidaknya ia dapat menatap lurus pria itu. "Ayah cemas padaku? Serius?"

"Apa maksudmu? Tentu saja Ayah khawatir. Kau belum memakan supmu."

Putri Hilderose melirik sup jagung di depannya. Beberapa potongan wortel kecil memberi sentuhan merah di sup berwarna kuning keputihan itu. Wanginya pun lebih mendominasi daripada bau-bau alami peternakan di sekitar. Tidak terlalu buruk untuk mengisi perut, sebenarnya.

Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang