Ruang pengobatan di istana memiliki luas hampir dua kali lipat ruangan pribadi kesatria, sekelas kamar seorang bangsawan, hanya saja diisi tiga ranjang, tirai penyekat antar ranjang, meja Penyembuh, dan lima kursi.
Leonore berdeham di depan pintu, ketika dia mendapati satu sosok bertudung tengah menata rangkaian bunga lili di tepi jendela. Si sosok berbalik, membiarkan wajah mungil itu terlihat. Meski tudung dan jubah putih menutupi hampir seluruh tubuhnya, Leonore masih dapat mengenali sosok itu sebagai seorang perempuan. Suara si Penyembuh ketika mempersilakan mereka masuk terdengar jernih.
Nona Orphea menaruh tubuh Satsu di ranjang paling pinggir, dekat pintu. Dia masih mengamati gerak-gerik Satsu seandainya ada perubahan. Semenjak mengangkut tubuhnya, detak jantung Satsu terasa cepat, tetapi masih terhitung wajar berhubung pemuda itu sedang sakit.
"Awasi dia, Ally!" perintah Nona Orphea sambil beranjak keluar.
Ally masih menggeram tiap kali melangkah sambil mengangkat kain merah yang sudah pasrah dikenakannya itu. "Tentu saja!" ucapnya ketus. Dia mendengus kesal melihat Nona Orphea keluar dalam tawa.
Leonore menoleh ke arah pintu yang tertutup, lalu mengernyitkan alis memerhatikan Ally. Gadis itu melepas sepatu bot si pemuda yang terbaring. Ada suatu perasaan aneh ketika mengamati mereka berdua.
"Leon?"
Pemuda itu sontak menoleh kembali ke depan. Senyuman mengembang secara otomatis di wajah Leonore. "Aku akan menunggu di depan." Dia mengangguk pelan. "Kalau Anda butuh apa-apa, silakan panggil saja."
"Ya, kurasa ini juga takkan lama," balas Putri Hilderose.
Meski sang putri menunduk, Leonore dapat menelusuri arah tatapan Putri Hilderose: pemuda yang terbaring itu. Dia ingat percakapan tadi di lorong. "Anda kenal pemuda itu?"
Putri Hilderose menarik napas hingga bahunya naik. Dia terkejut. Untungnya, harum bunga dan bau manis sedikit menenangkannya. "Seperti yang kubilang tadi, dia menolongku di penyerangan kemarin."
Leonore mendesis sambil mengacak-acak rambut belakang. "Ah, maaf, aku masih belum minta maaf soal itu."
"Soal ... itu?"
"Kaki Anda. Waktu itu, aku terlalu panik dan hanya memikirkan kota, jadi—"
"Itu hal yang wajar kau lakukan, Leon," potong Putri Hilderose. "Kau tak perlu memikirkannya. Lagi pula, aku bisa menjaga diriku sendiri."
Leonore mengangkat alis. Sampai harus ditolong oleh pria lain, pikirnya, tetapi dia batal mengucapkan itu. Leonore hanya tersenyum. "Baiklah, kalau menurut Anda begitu." Dia lalu mengucap salam ke tiga orang yang berada di sana sebelum keluar.
Putri Hilderose mendesah, seraya dirinya dipandu ke kursi untuk diperiksa oleh si Penyembuh. Proses penyembuhan dengan sihir Lumia sebenarnya hanya beberapa menit, tetapi sang putri tak bisa berhenti memikirkan Satsu yang berada di belakangnya. Semuanya terasa lama. Setidaknya, gelitik hangat butir-butir cahaya Lumia berhasil membuatnya tersenyum simpul untuk sesaat, sebelum si Penyembuh menyatakan kesembuhan total kaki sang putri.
Putri Hilderose berdiri, lalu mengetuk-ngetukkan ujung kaki, memijakkan tumit, dan melemaskan kakinya untuk memastikan bahwa luka itu sudah benar-benar sembuh. "Terima kasih," ucapnya.
"Semoga Eoden melindungi Anda." Si Penyembuh membungkuk anggun dengan kedua tangan di depan perut.
Namun, setelah beberapa saat, Putri Hilderose masih termangu di depannya. Mata sang putri melirik ke bawah, seakan tengah berpikir.
"Maaf, masih ada yang Anda perlukan?"
"Oh," Putri Hilderose tertegun, "maaf, aku hanya ingin tanya, apa boleh aku menemani pasien lain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]
Fantasy[Fantasy - Romance - Adventure - Action] - Highest Rank #62 on June 22nd 2017. 17+ Warning, karena ada violence. - Exolia (Trace of A Shadow #1) - COMPLETED - Onogoro (Trace of A Shadow #2) - ONGOING - Savior (Trace of A Shadow #3) - Februari...