Si Penipu (Part I)

574 84 33
                                    

Author's Note: Seperti biasa, dibagi 2 juga. Ada "sedikit" adegan tidak senonoh yang terselip. Apa perlu diperbaiki ratingnya ya? :'D Eniwei, mungkin perlu pendapat juga, apakah terlalu eksplisit dan musti dikurangin tone-nya, atau malah kurang? Wkwkwk. Tapi emang gak ada rencana untuk eksplisit, sih :'D Author cuma sedikit eksperimen adegan di sini, maaf :'D

Prev Chap: Setelah kekacauan usai, Raja Herberth memarahi para kesatria Lumia dan memerintahkan tugas-tugas baru demi memulihkan keamanan. Sementara itu, Putri Ester masih dipusingkan dengan lamaran yang sempat dilupakannya. Ketika menghampiri Raja Herberth, Putri Ester juga ikut kena marah. Dia disuruh mempersiapkan diri untuk acara pemakaman penduduk di kuil istana.

******

Kedua tangan Putri Ester saling bertautan di depan dada. Ketika memejamkan mata, dia mampu mendengar beberapa isak tangis yang tertahan di belakangnya, mengiringi doa yang diucapkan Pendeta Tinggi *Soevey Eoden di depan altar. Lilin-lilin Lumia menciptakan kehangatan yang menyebar di seluruh ruangan, mengalahkan angin malam yang mengembus dingin.

"Terimalah jiwa-jiwa yang telah meninggalkan dunia ini dalam kerajaanmu," ucap sang putri bersama para rakyat, mengulang doa pendeta.

Kuil Eoden yang terletak di sisi barat istana itu memiliki atap tinggi melengkung, membiarkan suara-suara menggema hingga ke luar, seakan hendak mencapai langit, tempat Eoden—dewa yang mereka percayai—tinggal. Lukisan di langit-langitnya memakai warna-warna terang, dalam bentuk manusia-manusia cantik rupawan, juga hewan-hewan yang bermain akur di pepohonan rimbun. Semua itu menunjukkan harapan Soevey Eoden akan hidup damai di permukaan bumi tanpa gangguan Droxa.

Satsu bersandar pada salah satu pilar besar yang menopang bangunan itu. Dari tempatnya berdiri, dia dapat melihat altar dan Putri Ester di barisan depan. Pemuda itu memang tidak percaya tuhan, tetapi menghormati kematian dengan ritual seperti ini pun mungkin diperlukan.

Enam orang Penyembuh bertudung putih menghampiri Pendeta Tinggi: tiga di kanan dan tiga di kiri. Seiring lantunan lagu menggema, peti kayu mewah di kedua sisi meja altar diselimuti garis-garis cahaya melengkung. Angin dari seluruh penjuru seakan terisap ke arah bungkusan cahaya. Perlahan, sinar itu memipih, hingga dalam beberapa detik pecah menghilang dalam satu lantunan bel.

Pemakaman di Exolia memang tidak meninggalkan mayat ataupun asap kremasi.

"Aku tak tahu kalau kau suka acara seperti ini."

Satsu tertegun dan langsung menegapkan tubuh. Dia menoleh ke arah suara gadis di sampingnya. Ternyata hanya Ally. Matanya langsung menyipit lesu dan berpaling lagi.

"Hei, kenapa malah tak senang kalau melihatku?" Ally berkacak pinggang. "Bukankah cewek lebih menarik daripada acara membosankan seperti ini?"

Kalau membosankan, kenapa kau tidak pergi saja?

Ally menggembungkan pipinya melihat Satsu yang terdiam. Kalau diperhatikan, tatapan Satsu seringkali mengarah ke Putri Ester. "Kau harus hati-hati dengan putri raja itu, lho. Meskipun kita bisa menghilangkan keberadaan kita, ilmu itu tidak mempan. Dia bisa melihat kita di sini, bisa juga merasakan keberadaan kita di Wilayah Bayangan kalau terlalu dekat."

Satsu melirik ke arah Ally. Alisnya yang naik menunjukkan ketertarikan.

Ally tersenyum bangga, lalu menekuk kedua tangannya di depan dada. "Aku sudah lama di sini, jadi tahu banyak. Kau seharusnya memanggilku senior. Ayo, coba katakan."

Hanya butuh sedetik untuk pemuda itu hilang minat lagi. Dia mendesah.

"Kau ini tidak banyak bicara, ya."

Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang