Yang Terpenting Bagi Mereka (Part I)

1.2K 138 51
                                    

Author's Note: Weh, akhirnya Satsu muncul juga. Lolol. Sebenernya, aku sendiri udah gak sabar nulis dia. Seemprit2 memang, tapi aku harap bakal jadi bumbu tersendiri :) Silakan membaca~

Prev Chap: Sebelum sampai ke ibukota, Putri Hilderose dan ayahnya beristirahat di sebuah kedai. Perjalanan melelahkan dari Rayongarde membuat Putri Hilderose mengingat masa-masa kecilnya dulu. Tiba di kota Loka, ia bertemu kembali dengan Leonore dan Putri Ester setelah sebelas tahun lamanya. "Mungkin aku lebih beruntung darimu, Ester. Setidaknya, aku bisa melupakan kalian selama sebelas tahun."

******

Bilah hitam menusuk tubuh seekor burung yang menyerupai gagak. Asap hitam keluar dari luka si burung. Paruh burung—Droxa—itu masih membuka-tutup beberapa kali. Tubuhnya bergetar-getar. Kesakitan tampaknya.

"Too ... LoONg ... BEbbAaS ...."

Droxa itu pecah. Ia terurai sepenuhnya menjadi asap, lalu perlahan lenyap.

Bilah hitam pipih—yang menyerupai pedang kurus sepanjang hampir dua meter itu—memendek. Asap hitam mengiringi seluruh sisi dan pergerakan. Benda itu sedikit terhambat ketika menembus masuk kubah cahaya pelindung.

"Hei! Kau lihat yang tadi itu?!" Seorang pria berzirah perak menatap ke langit.

Temannya juga melihat ke arah yang sama. "Droxa tadi ... lenyap? Bagaimana mungkin?"

Percikan cahaya masih memenuhi kepalan tangan mereka. Beberapa kali kedua kesatria itu menoleh ke sekeliling. Hanya ada kuda, kusir, pelayan, tukang kebun, dan dua pria yang menghampiri dari dalam istana, untuk peralihan tugas. Cahaya dari sihir Lumia perlahan menghilang. Mereka tak berhasil menemukan jawaban atas hilangnya Droxa tanpa sebab. Dugaan terkuat adalah perlindungan Lumeprodia, tapi seharusnya, dentang bel berbunyi ketika serangan aktif.

Satsu mengamati dari atap menara istana, kala orang-orang itu kembali ke kegiatan masing-masing. Bilah pipih tadi telah memendek hingga beberapa senti dari atas punggung tangan kanannya, sebelum kemudian buyar menjadi asap tak beraturan, dan lenyap seketika.

Satsu mendengus tanpa suara. Kalian tak akan bisa menemukanku.

Mata cokelat Satsu kembali terarah ke langit. Poni hitamnya yang berantakan sudah memanjang hingga sesekali menutupi pemandangan. Ia suka tempat itu, lebih dari yang dikiranya.

Langit biru Exolia tidak ada bedanya dengan Jepang, kecuali gelombang cahaya keemasan yang sesekali lewat. Jika Satsu menutup mata, dengung pelan cahaya itu seakan membentuk nada-nada khusus. Merasakan sihir sedekat dan senyata ini adalah salah satu sisi Exolia yang bisa ia nikmati.

Lume ... prodia, ya. Nama itu entah mengapa tak terdengar asing.

"Kau tidak apa-apa?" Salah satu penjaga di bawah memegang pundak temannya yang gemetaran.

"Ti-tidak. Maaf, aku tak pernah biasa mendengar suara-suara itu."

"Yah, itu bisa kupahami. Untungnya Droxa tipe udara itu jarang muncul, ya."

Temannya mengangguk setuju. "Untungnya juga, gema itu tidak sampai ke dalam istana. Itu salah satu keuntungan jadi Kesatria Lumia."

Derit gerbang kayu—dengan tinggi hampir dua kali lipat dari manusia pada umumnya—menyentak kesigapan kedua pria itu. Daun pintu terbuka di bagian tengah, terdorong ke arah dalam. Empat orang penting yang berjalan masuk semakin memaksa para penjaga menegakkan punggung.

Satsu menyipitkan mata. Duduk di bagian atas dinding balkon tidak membiarkannya melihat lebih jelas empat orang itu. Terlalu jauh. Yang mencolok hanyalah warna kepala mereka: dua pirang, satu cokelat, dan satu hitam. Paduan yang menarik, pikirnya.

Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang