Begitu Nona Orphea maju, tiga orang pemusik membawa alat-alat mereka: gendang, seruling, dan kecapi bergagang. Orang-orang yang duduk di sekitar tengah kedai menggeser kursi-kursi mereka, memberi ruang cukup luas bagi keempat orang untuk berdendang.
Ketika salah satu lagu terkenal mulai dimainkan, Nona Orphea menepuk tangan sesuai irama, diikuti para warga. Getaran suara wanita itu membuat orang-orang terpana dan berhenti sesaat dari kegiatan masing-masing. Tak mau kalah, sepasang pria dan wanita mulai menari, sementara di pojok yang lain ada yang bersiul dan berteriak penuh semangat.
Di antara keramaian, Leonore mendengus tersenyum. "Kakak memang hebat. Bisa-bisanya dia malah berbuat seperti ini. Bukankah begitu—"
Ketika Leonore menoleh, Putri Ester sudah bangkit dari kursinya. "Aku mau keluar dulu." Suaranya bergetar.
Leonore ikut berdiri untuk membuka jalan. Saat Putri Ester melewatinya, pemuda itu mendapati setitik air mata dari balik rambut yang menutupi wajah sang putri. Meski hanya sekilas, hal itu cukup mengguncang Leonore, menekan dadanya dalam sekejap.
"Tuan Pu—" Leonore batal memanggil. Pandangannya beredar ke sekeliling. Dia ragu memecah suasana yang tengah ramai oleh semangat itu, suasana yang susah payah diciptakan oleh Nona Orphea. Pemuda itu memutuskan untuk duduk kembali. Tangannya mengepal kala dia menunduk.
Inilah yang terbaik.
Mata Leonore terarah pada roti di atas meja. Meski seharusnya dia butuh makan banyak, entah mengapa hari itu Leonore sama sekali tak lapar. Dia mendesah lagi, kemudian mengalihkan tatapan ke luar jendela.
Putri Ester sedang berbincang dengan kedua penjaga di luar.
Leonore mengernyitkan alis ketika melihatnya. Kenapa Tuan Putri ada di sana? tanyanya dalam hati. Tak berapa lama, kedua penjaga terlihat kalang-kabut.
Leonore langsung berdiri. Jantungnya berdetak keras seiring matanya membelalak perlahan. Satu per satu pertanyaannya berubah menjadi dugaan terburuk. Dia segera menerobos orang-orang di dalam kedai dan mendorong pintu.
Begitu keluar, suara tapak kuda dan teriakan penjaga memastikan dugaan buruknya.
Kemarahan akan kelalaian para penjaga dan dirinya sendiri, juga kekhawatiran terhadap Putri Ester bercampur aduk, melanda Leonore yang berlari sekencang-kencangnya ke area depan desa.
"Tuan Leonore, Tuan Putri—"
"Aku tahu!"
Dia tak sempat mengomel, hanya melihat kuda-kuda lain yang berjajar di depan dinding. Penjaga kuda menganga keheranan akan situasi.
Pemuda itu melepaskan tali pengikat dari salah satu kuda.
"Hei, Anda harus bayar dulu," ucap si penjaga kuda ketus.
Leonore menggeram sambil memberikan sekantong uang. Dia tak peduli kembalian ataupun kehilangan segalanya. Hanya satu yang dia pikirkan ketika menjejak di pijakan samping kuda. Setelah naik, Leonore segera memacu, mengejar Putri Ester. Untungnya dia sempat melihat arah yang dituju sang putri.
Bukan kota Loka.
Melewati jembatan, ada jalan ke kiri untuk mencapai luar hutan. Leonore mengeritkan gigi. Di depannya, Putri Ester memacu kuda sama cepatnya. Keluar tanpa Lumeprodia?! Apa yang dipikirkan Ester?!
Dengan angin kencang mengusik pandangan Leonore, Droxa-droxa kecil yang mulai terbentuk di sekitar mereka juga memburam. Untungnya, kaki-kaki kuda melaju menjauhi asap hitam itu. Tidak banyak Droxa tikus yang mengincar mereka, sementara yang berbadan lebih besar sudah menunjukkan taring.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]
Fantasy[Fantasy - Romance - Adventure - Action] - Highest Rank #62 on June 22nd 2017. 17+ Warning, karena ada violence. - Exolia (Trace of A Shadow #1) - COMPLETED - Onogoro (Trace of A Shadow #2) - ONGOING - Savior (Trace of A Shadow #3) - Februari...