Selain Pak Batih yang suka menceramahi Picka, ada Ibu Suti juga yang sepertinya memang tidak menyukai Picka dari awal. Jika Pak Batih suka menasihatinya tentang kehidupan dan kematian, Ibu Suti ini berbeda. Bibirnya yang tebal dan merah itu suka mengejek Picka. Terlambat untuk yang kesekian kali, menjadi rutinitas Picka.
"Kamu itu mau kontes apa sekolah!? Baju di potong pendek, emang perut kamu itu bagus?!" Tunjuk Ibu Suti menggunakan penggaris. "Ngerasa paling cantik kamu?"
"Iyalah," Gumam Picka pelan.
"Rok di gunting-gunting, kamu pikir paha kamu itu bagus?" Bukannya merasa terintimidasi, Picka malah berpose menggunakan kakinya. "Coba kamu ke pasar, kumpul sana sama anak ayam. Rambut di cat segala. Ini tidak patut di contoh, anak nggak ada prestasi yang di banggakan,"
Picka menghembuskan nafasnya pelan. "Setengah isi lemari kepala sekolah itu saya loh buk yang punya." Ujar Picka mengunyah permen karet, memutar bola matanya jengah.
"Buang permen karet kamu! Udah kayak preman aja!" Picka melempar permen karet di mulutnya ke pot bunga. Ibu Suti melotot. "Ambil! Buang sampah sembarangan!"
"Ya elah, salah mulu gue," Picka membungkuk, memungut permen karetnya.
"Buku kamu mana? Tas kamu mana? PR-nya kumpul sekarang."
Picka melirik Ayesha yang menatapnya meringis. Ah, Picka tidak pernah mengerjakan semua itu. Dengan segenap jiwa raga, Picka berkata Yes! Saat Ibu Suti memintanya untuk tidak ikut dalam pelajaran. Karena setiap hari Rabu pagi, kelas Capta di jam pertama itu adalah pelajaran olahraga. Selain mencuci mata, Picka bisa lebih lama menatap Capta.
Membeli air mineral di kantin dan roti yang akan ia berikan pada Capta. Picka duduk bersila di bawah pohon rindang pinggir lapangan. Mengabadikan Capta yang sedang bermain futsal tersebut dengan kamera ponselnya.
Sadar ada yang memotret dirinya karena sebuah flash kamera terlihat jelas, Capta menoleh. Melihat Picka yang melambai padanya.
"Nggak ada otak emang, orang pada belajar karena mau ujian, dia malah nongkrong di bawah pohon," Nean menggeleng pelan melihat aksi Picka tersebut. "Btw, Pian gimana?"
"Gitulah,"
"Nggak pernah tobat itu si Pian." Nean menatap Picka lama sebelum berkata. "James mantannya Picka kan?" Capta mengangkat bahunya acuh. "Lo kenapa sih nggak suka sama Picka? Dia suka sama lo dari awal kita masuk sekolah, bahkan saat gue sekelompok sama tuh cewek, mulutnya nggak berhenti ngebacot tentang lo,"
"Apa yang bisa gue sukai dari dia?"
"Picka cantik, punya badan bagus, baik sih kadang-kadang. Pemandu sorak, Kebanyakan gilanya emang, tapi gue salut aja sama dia, gigih ngejar lo meski di abaikan. Itu sakit rasanya, bro," Nean meremas bajunya bagian dada. "Yang suka sama dia ngantri, tapi dia kekeh banget mau sama lo,"
"Sama lo aja,"
"Kalau dia mau, nggak perlu mikir dua kali gue!" Capta menendang bola bulat itu ke pinggir lapangan. "Cap, sebenarnya orang yang bertingkah ceria dan selalu tersenyum seperti Picka, adalah cara dia menutupi kepedihan yang orang nggak pernah tahu."
Capta menoleh saat mendapat remasan di bahunya.
"Dari pada lo tungguin yang nggak pasti, coba lo buka sedikit cela buat Picka. Jujur aja, gue lebih ngedukung lo sama Picka. Dia bisa melengkapi kekurangan lo. Meski nyatanya dia yang banyak kekurangan, tapi gue lihat disini, lo yang paling banyak kekurangan, bukan Picka. Gue kenal Picka dari awal masuk sekolah, dia selalu bawa aura positif, kadang lucu, kadang gila, kadang nggak jelas. Sama dia nggak perlu pakai otak Cap. Dunia perlu orang kayak Picka."
KAMU SEDANG MEMBACA
CAPTAIN PICKA [END] SUDAH TERBIT CERITA MASIH LENGKAP
Teen Fiction"Kamu kehidupanku," -Capta "Kamu kematianku," -Picka Tentang Picka, seorang remaja kelas tiga SMA yang hidup dalam bayang-bayang yang terus mengancam dirinya. Senyum dan tawa sebagai pengalihan. Saat ia mendekati lelaki hanya untuk sebuah perlindun...