40. Tersayat

17.1K 1.9K 271
                                    

I MISS YOU GUYSSS!!!!! 😭😭😭
Kangen kalian semua huaaaa
Baru bisa update karena jadwal bener2 padet
Love2 you!!!

**

"Cap?" Dan lagi. Capta menepis tangan Picka yang ingin menyentuhnya. Lelaki itu masih diam dan tidak membalas tatapan Picka. Tangan dan matanya fokus membersihkan luka sayatan di leher Picka.

Menutup luka tersebut menggunakan plester. Capta membereskan kotak obat yang selalu ada di mobilnya ke tempat semula. Kembali menyalakan mesin menuju apartemen.

Picka menggenggam tangannya di pangkuan gugup. Menarik nafas kemudian membuangnya dengan wajah tertunduk malu. Tanpa sadar air matanya jatuh, tidak tahu karena apa Picka merasa hatinya begitu sakit sekarang. Segala sesuatu yang terjadi di hidupnya sangat menyedihkan. Dalam diam dan dalam kegelapan, itulah hidupnya yang sialan.

Tiba di parkiran apartemen. Capta mematikan mesin mobil kemudian menurunkan sedikit sandaran ke belakang agar duduk lebih nyaman. Picka terdiam. Bahunya sedikit bergetar, Capta melihat itu dari ekor matanya.

Cukup lama keduanya duduk dalam diam. Akhirnya Capta membuka suaranya.

"Masih sakit?"

Picka menggeleng, menghapus air matanya cepat lalu menoleh menghadap Capta.

"Terus kenapa nangis?"

"Kelilipan," Jawabnya bohong. "Kelilipan cinta dan perhatian lo tadi," Lanjutnya kemudian menarik dua sudut bibirnya ke atas.

Capta terdiam selama beberapa detik melihat senyuman itu, lalu ia berkomentar. "Lucu?"

Senyuman cantik itu menghilang dalam sekejap. "Untuk terakhir kalinya. Gue nggak akan temuin James lagi, karena gue merasa James perlu tahu semua ini."

"Setelah lo jelasin semuanya, apa James akan berubah? Dia nggak punya pikiran, gimana jadinya kalau lo di apa-apain sama dia tadi? Kenapa lo selalu buat gue khawatir. Semuanya bukan candaan. Stop temuin dia di belakang gue."

"Kan gue nggak kenapa-kenapa, buktinya ada di samping lo sekarang,"

"Gimana kalau gue nggak datang tadi?"

"Ya, gue pulang naik taxi."

Capta menutup matanya kesal mendengar jawaban Picka. Sadar jika Capta sungguh marah, Picka mencoba membujuknya, ia memeluk tangan Capta dan mendusel seperti anak kecil.

"Maafin Picka ya," Kata Picka cemberut, menompang dagu di dada Capta. "Capta mau nggak maafin Picka? Kalau Capta marah, Picka sedih. Kalau Picka sedih, pasti Capta nggak suka. Iya kan?" Ujarnya manja.

"Goblok." Capta mendengus, mengacak rambut depan Picka.

"Gitu dong, maki aja aku tuh dari pada kamu diam, berasa di rumah hantu." Picka tertawa kecil. "Udah nggak marah?" Picka mengedipkan matanya manja.

"Marah,"

"Terus gimana caranya agar Capta baik lagi sama Picka?"

"Jangan pernah terluka." Kata Capta pelan membuat Picka bungkam seketika. "Karena luka yang lo rasain, sakitnya bisa berkali-kali lipat di tubuh gue. Jadi jangan terluka."

Picka mengangguk pelan kemudian memeluk Capta hangat. Merasakan tangan kekar itu memeluknya dan mencium kepalanya. Picka nyaman, berada di pelukan lelaki itu.

"Besok sekolah, akan ada banyak jam tambahan buat persiapan ujian. Udah jam dua, lo istirahat dulu. Besok pagi gue jemput."

Picka melepaskan pelukannya. Keduanya bersamaan keluar dari mobil karena Capta ingin mengantarnya sampai ke depan apartemen.

"Malas sekolah," kata Picka berjalan menyeret kakinya.

Capta menarik tangan Picka, merangkulnya. "Semuanya aja malas,"

"Nggak semuanya. Aku sayang kamu nggak ada kata malas kok," Capta mengusap wajah Picka dengan telapak tangannya, Picka tertawa. "Btw, kok lo bisa tau gue disana?"

"Rahasia."

"Udah mulai rahasia nih,"

"Sampai, masuk sana," Keduanya sudah berdiri di depan pintu.

"Kamu dong yang masuk," Katanya memukul dada Capta centil. Picka tertawa sendiri.

"Lo mikir apaan goblok," Capta mendorong kepala Picka kemudian menggeleng pelan, membuka pintu apartemen. "Masuk,"

"Enak loh Cap, malem gini en-" Belum sempat Picka menyelesaikan kalimatnya, Capta mendorong tubuh Picka kemudian menutup pintunya. Capta terdiam memandangi pintu tersebut, menggeleng pelan sebelum pergi dari sana.

**

Capta melempar kunci mobilnya, melepas jaket lalu menggantungnya di lemari. Mencuci wajah dan kakinya di kamar mandi, kemudian Capta menghempaskan tubuhnya di ranjang. Menghembuskan nafasnya pelan, dalam kegelapan, ia menatap langit kamar.

"Picka, nggak papa?"

Capta berdeham, menghadap jendela. "Lo nggak akan kasih tau kejadian ini ke Papa kan?"

"Tergantung besar dan kecilnya lo bungkam mulut gue,"

Capta menghembuskan nafas pelan, memejamkan matanya. "Bang,"

"Em," Nicol memainkan bola kasti di tangannya, melemparnya ke udara lalu menangkapnya lagi, melakukannya berulang kali.

"Lo pernah takut nggak dalam hidup lo?"

Nicol mengerutkan keningnya, berfikir sebentar lalu menjawab. "Pernah,"

Capta membuka matanya. "Kapan?"

Nicol menangkap bola tersebut. Menggenggamnya erat. Setiap orang punya ketakutan sendiri, bahkan ketika orang lain mengatakan itu adalah hal kecil yang di anggap berlebihan. Ketakutan yang pernah Nicol alami ialah, saat dia pernah terluka karnanya.

"Lo serius mau ikutin apa kata keluarga?"

"Menurut lo?" Nicol terduduk, kedua tangannya berpangku di atas paha, memunggungi Capta.

Capta menghembuskan nafasnya, menatap punggung Nicol. "Gue nggak mau lo tertekan. Gue nggak setuju sama keputusan keluarga dan lo yang menurut gue terlalu maksa. Gue tau gimana perasaan lo. Apapun keputusan lo, gue akan selalu dukung. Lo udah dewasa, lo berhak menentukan pilihan, termasuk hidup lo sendiri. Gue masih anggap lo keluarga gue meski nantinya lo milih jalan yang menurut lo udah lo yakini."

Nicol terdiam.

"Lo nggak harus tunangan sama Anin," Kata Capta pelan.

TBC
VOMENT

Kaget kan, HAHAHAHHA

CAPTAIN PICKA  [END] SUDAH TERBIT CERITA MASIH LENGKAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang