Semilir angin yang masuk melalui jendela menyapu perempuan yang masih tertidur pulas di ranjang. Menarik selimut membungkus tubuhnya. Matanya masih tidak ingin terbuka padahal sudah jam sepuluh pagi. Aroma dari semua jenis masakan masuk ke hidung membuat perutnya keroncongan.
Picka menguap, mengulet merenggangkan ototnya di ranjang putih. Menatap langit kamar untuk mengingat dimana ia sekarang. Picka terduduk, menggaruk kepalanya sambil melihat seisi kamar yang kosong. Membungkus tubuhnya dengan selimut tebal, Picka beranjak turun dari ranjang.
Matanya menyipit saat bertemu sinar matahari yang sudah menyala terang. Mengambil kaca mata hitam, Picka menuju keramaian yang sedang terjadi di dekat kamarnya. Saat ini Capta sedang bercengkrama dengan beberapa turis asing, terlihat akrab dan mereka mengobrol nyaman satu sama lain.
Picka memilih duduk di kursi depan villa, menikmati udara yang dingin sekaligus hangat karena terkena sinar matahari. Mata Picka sayup-sayup tertutup kembali.
Setelah satu jam Capta dan tiga orang turis asing menyelam untuk melihat keindahan bawah laut, akhirnya mereka berpisah. Capta kembali ke villa, melihat seorang perempuan dengan posisi duduk dengan kedua kaki di luruskan ke meja. Capta mengerutkan keningnya, ia tidak tahu Picka sudah bangun.
Sadar ada yang aneh, Capta mendekat. Mengambil kacamata hitam yang bertengger di hidung mungil Picka. Capta tertawa kecil, mendorong kepala Picka membuat Picka terbangun dari tidur cantiknya.
"Silau, Cap," Kata Picka serak, mengambil kaca mata di tangan Capta untuk di pakai kembali.
"Mandi sana, mau makan nggak?" Capta duduk di kursi satunya, menyeruput minuman yang awalnya hangat sudah menjadi dingin, karena Capta memesan satu jam yang lalu.
"Lima menit," Gumam Picka.
"Satu." Capta menghitung.
"Tiga menit,"
"Dua."
"Ih!" Picka menendang udara menggunakan kakinya kesal. Capta selalu bisa membuatnya melakukan sesuatu, sialnya Picka tidak bisa menolak atau membantah. Kata orang melawan kata suami itu dosa.
"Cepetan,"
Picka bangkit, menghentakkan kakinya kesal. Bukan masuk ke villa, Picka berjalan menuju depan villa, Picka menunduk, melihat air jernih di bawah sana. Banyak keindahan bawah laut yang sangat mempesona di lihat dari tempat Picka berdiri. Ikan yang berwarna-warni dan rumput yang bergoyang di sapu ombak.
Picka termenung cukup lama menikmati kehidupan bawah laut. Ia merasa masuk ke dalam dan tenang, menyatu dalam keheningan dan kebebasan. Memejamkan kedua matanya, Picka menantang dirinya sendiri kali ini. Sebisa apapun, Picka tidak boleh punya kelemahan. Cukup Capta kelemahannya.
"Cap," Picka berbalik badan, menatap Capta yang masih duduk santai di kursi. Picka mengepalkan kedua tangan. "Ajarin gue renang."
**
Menantang diri sendiri ternyata jauh lebih sulit dari pada menantang orang lain. Disini lah Picka sekarang, berjalan menuju kolam pribadi villa yang masih berada di sekitar laut. Picka menelan salivahnya sulit, mengeratkan genggaman tangannya yang di genggam Capta. Picka melihat airm kolam terisi penuh, banyak jugayang berenang disana. Pemandangan di kelilingi lautan.
"Jadi nggak?" Tanya Capta. Mereka sudah berdiri di pinggir kolam selama lima menit. "Tuh lihat, anak kecil aja berani. Masa lo kalah,"
"Karena kaki mereka mungil,"
"Apa bedanya?"
"Katak kakinya mungil."
Lagi-lagi Capta dipenuhi rasa penyesalan tidak terhingga mendengar cara kerja otak dan bibir Picka. Mengusap wajahnya untuk mengusir kekesalan, Capta tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAPTAIN PICKA [END] SUDAH TERBIT CERITA MASIH LENGKAP
Teen Fiction"Kamu kehidupanku," -Capta "Kamu kematianku," -Picka Tentang Picka, seorang remaja kelas tiga SMA yang hidup dalam bayang-bayang yang terus mengancam dirinya. Senyum dan tawa sebagai pengalihan. Saat ia mendekati lelaki hanya untuk sebuah perlindun...