Capta memberikan senyuman kecil pada Ibel, mengendarai mobil keluar dari kawasan rumah perempuan itu. Senyum Capta menghilang membentuk garis lurus. Mengambil dua lembar tissue kemudian ia membersihkan bibirnya. Memastikan tidak ada bekas disana.
Hujan semakin deras, Capta membawa mobil santai menikmati dinginnya malam. Tiba-tiba ia memperlambat laju kendaraannya melihat seorang perempuan yang berdiri hampir di tengah jalan, wajahnya mendongak ke atas. Awalnya ingin Capta abaikan, namun sepertinya ia mengenal perempuan itu.
Capta menginjak rem lalu berjalan mundur dan berhenti tepat di samping perempuan gila. Capta menekan klakson hingga orang itu terperanjat kaget, menurunkan kaca mobilnya saat melihat gerakkan bibir itu memakinya.
"Anj- ahyang! Capta, ngapain?!" Tanya Picka mengerutkan keningnya, kecentilan itu kembali muncul. Seolah perempuan penggoda di pinggir jalan.
"Lo ngapain?"
"Gue?" Picka mengerjap, kemudian ia merentangkan tangannya. "Menikmati malam yang sedang turun hujan," Katanya dramatis.
Capta melihat jam tangannya, pukul setengah dua belas malam. Perempuan itu sungguh gila. "Masuk."
"Kemana?" Picka masih tidak bergeming dari tempatnya berdiri. "Nggak deh, baju gue basah semua. Nanti mobil lo banjir,"
"Ya udah," Picka menahan cepat saat kaca mobil ingin tertutup. "Apa?"
Picka mengerucutkan bibirnya. "Di bujuk rayu gitu lah,"
"Nggak."
Picka mendecih pelan, ia mengulum senyum membuka pintu mobil dengan gerakan slow motions. "Ini lo yang maksa ya, sebenarnya gue sih bisa jalan kaki," Picka menutup pintu mobil. "Tapi di paksa gitu jadi nggak enak gue,"
Capta menggeleng pelan, mengambil selimut di kursi belakang. Mobil Kansa itu lengkap isi dalamnya karena kadang Sean tertidur dalam mobil. Melempar selimut itu pada Picka.
"Perhatian banget si Abang," Picka melilit tubuhnya menggunakan selimut. Capta mulai mengendarai mobilnya kembali. "Lo dari mana mau kemana? Kok jam segini masih di luar?"
"Lo ngapain berdiri kek orang gila telanjang kaki tengah malam gini?"
"Melatih kemampuan, semedi," Capta menoleh dengan kening berkerut. "Siapa tau gue jadi aktris, jadi tadi gue habis mendalami scane lari-larian. Gitu,"
Picka mengusap hidungnya yang mulai memerah, ia bersin. Capta melempar tissue pada Picka. "Kok dingin ya Cap? Tapi masih dingin sifat lo ke gue," Picka tersenyum, merapatkan selimutnya. Ia bersin lagi. "Aduh gelap, kayak hidup gue Cap,"
Capta mendorong kepala Picka yang tertawa, mereka memasuki sebuah terowongan. "Kok kita bisa ketemu gini ya, jodoh emang nggak kemana,"
Capta melihat Picka menarik-narik ujung jaketnya. "Apa?"
"Lo harum Cap, pake parfum apaan?"
"Sana. Duduk yang benar sebelum gue dorong lo dari mobil."
"Aduh sadisnya Abang Capta," Picka kembali ke kursinya. Menatap jalanan, cukup lama kebisuan terjadi antara keduanya. Picka kembali membuka suara. "Cap,"
"Apa."
"Nggak jadi," Picka tersenyum. Ia berdeham lalu berkata. "Lo pernah tunggu seseorang nggak, pas dia hadir di hidup lo ternyata kehadirannya buat lo kecewa," Capta menoleh sekilas, Picka menatap jalanan kosong. "Nanti kalau udah sampai bangunin gue ya,"
Picka memejamkan kedua matanya, menyandarkan kepalanya ke kaca jendela. Biarkan Picka tidur sebentar saja, melupakan apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Picka ingin ketika bangun semua itu hanyalah mimpi. Fakta tentang hidupnya, siapa Papanya, dan kisah Mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAPTAIN PICKA [END] SUDAH TERBIT CERITA MASIH LENGKAP
Novela Juvenil"Kamu kehidupanku," -Capta "Kamu kematianku," -Picka Tentang Picka, seorang remaja kelas tiga SMA yang hidup dalam bayang-bayang yang terus mengancam dirinya. Senyum dan tawa sebagai pengalihan. Saat ia mendekati lelaki hanya untuk sebuah perlindun...