41. Petir siang bolong

17.5K 1.8K 229
                                    

Alarm pagi Picka berbunyi. Merenggangkan otot tubuhnya Picka tersenyum di bawah selimut. Menyambar handphone cepat lalu menghubungi seseorang. Terdengar nada panggil yang cukup lama sampai akhirnya panggilan Picka di angkat.

"Good morning," Sapa Picka begitu manis.

"Em,"

"Gila. Bangun tidur aja cakep, jeleknya kapannn!!!!!" Pekik Picka dalam hati, berusaha stay cool. Tolong, mata Picka ternodai karena Capta telanjang dada. Bisa turunkan sedikit celananya? Picka kepo Capta pakai celana atau tidak. Sial! Ternyata otak Picka se-mesum itu.

Picka berdeham. "Cap, bangun,"

"Em,"

"Itu rambut lo berdiri,"

Capta mengulet kecil. "Goblok sia,"

"SS dong, gue lagi cantik," Picka mulai bergaya di depan kamera.

"Tong so geulis lah maneh!" (Jangan sok cantik lo).

"Dih, punya cewek tuh di puji bukan di katain. Emangnya kalau gue nggak cantik, lo mau?"

"Emang gue mau sama lo?"

"Ya Tuhan, sabarkanlah aku dalam menghadapi species langkah di bumi ini," Picka berdoa, Capta tertawa kecil membuat Picka bersemu. "Nggak ada yang lebih baik dari pada dengar suara tawa lo di pagi hari. Mirip banget sama yang sering bangunin gue tiap hari,"

"Siapa?"

"Anjing gue." Jawab Picka begitu lancar, satu detik selanjutnya layar ponsel Picka kembali ke wallpaper awal. Capta mematikannya. "Duhh, imut banget kembaran si Alka,"

Picka mengibaskan selimutnya, berjalan ke kamar mandi sambil bergumam. "Jadi siapa yang jadi kembaran si Alka? Si Alka yang jadi kembaran Alka? Atau Alka yang jadi kembaran si Alka?" Picka menggaruk kepalanya. "Apa sih, nggak jelas banget lo Pic! Otak pintar lo itu nggak nyampe!" Makinya.

Picka sudah rapi dengan seragam sekolah kebanggaannya. Setelah libur panjang selama dua minggu, Picka mulai bersemangat lagi kembali ke sekolah. Menghitung hari karena sebentar lagi seragam sekolah resmi di lepaskan dan masa putih abu-abu akan segera di tinggalkan menjadi kenangan.

Meski tidak terlalu banyak perubahan, kali ini penampilan Picka cukup rapih. Warna cat rambut yang memudar menunjukkan warna asli kecoklatan rambut Picka yang biasanya tergerai kini di kuncir kuda dengan pita pink menjadi penghiasnya. Jas sekolah dengan lambang Pandawa di kancing membungkus tubuhnya, tidak seperti biasanya, karena bisa di hitung jari ketika perempuan itu memakai jas, kecuali upacara bendera.

Capta akan menjemputnya sebentar lagi, Picka sengaja bangun pagi karena ingin sarapan terlebih dahulu bersama kekasihnya. Menunggu di lobby apartemen, Picka terus mengunyah permen karet di mulutnya. Alisnya mengkerut melihat sebuah mobil sedan hitam mewah yang mengkilat.

Mulut Picka berhenti bergerak, tubuhnya yang perlahan menyandar ke dinding berdiri tegap saat melihat seorang lelaki keluar dari mobil tersebut. Kedua mata Picka berbinar cerah, bibirnya membentuk senyuman cantik saat lelaki itu berdiri di hadapannya.

"Hai, Om," Sapa Picka seadanya, tampak gugup saat di tatap begitu teduh oleh lelaki yang Picka kenal sebagai dokter yang pernah merawatnya dan masih punya hubungan darah bersama Capta.

"Hei," Sapa Brayn bergetar, matanya berkaca-kaca membuat Picka bingung melihatnya.

"Cari siapa Om?" Tanya Picka menggaruk belakang kepalanya. "Picka mangkalnya malem, kalau pagi sekolah,"

Brayn tertunduk dan tertawa kecil, menghembuskan nafasnya pelan. "Ada yang mau saya bicarain sama kamu, bisa?"

"Serius banget, tentang tangan sama kaki Picka yang patah ya?" Ujarnya dengan nada bercanda.

CAPTAIN PICKA  [END] SUDAH TERBIT CERITA MASIH LENGKAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang